BERITA

YLKI Desak Revisi UU Pengumpulan Dana

"UU yang ada sekarang dianggap sudah kurang relevan."

Ria Apriyani

YLKI Desak Revisi UU Pengumpulan Dana
Bantuan IHR di markas milisi di Aleppo. Foto: Youtube Euronews

KBR, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI) mendesak pemerintah dan parlemen merevisi Undang-Undang tentang pengumpulan uang dan barang. UU yang ada sekarang dianggap sudah kurang relevan.

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan cakupan aturan yang ada sekarang ini hanya mengatur soal perizinan. Menurutnya undang-undang mesti mewajibkan lembaga penggalangan dana transparan soal aliran dananya.


"Yang sering dilupakan adalah bahwa lembaga penggalang dana itu harus mengupdate dana yang digalang itu untuk apa saja dan transparansinya seperti apa. Ini menyangkut akuntabilitas terhadap pendonor, hak-hak pendonor. Itu menjadi hak pendonor untuk mengetahui uang itu untuk apa saja kemudian seperti apa," kata Tulus kepada KBR, Kamis(28/12).


Dia mengingatkan agar masyarakat tidak ragu untuk menagih transparansi itu. Ini perlu dilakukan untuk mengecek bahwa dana yang disumbangkan dialokasikan sesuai tujuannya.


Selain itu, masyarakat juga perlu mengecek apakah lembaga penggalang dana tersebut berizin. UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang penggalangan dana mengatur lembaga penggalang dana harus berizin. Izinnya itu pun perlu diperbarui setiap 3 bulan. Namun kenyataannya, penelitian YLKI justru menemukan hanya 40 persen lembaga penggalangan dana yang berizin.


"Kita harus belajar dari Inggris dimana lembaga di sana marak, tapi akuntabilitas ke pendonornya tinggi. Jadi justru yang kurang dari kita transparansi lembaga ke pendonor. Itu harus mulai digalakkan. Peruntukkannya harus jelas. Kita punya hak. Uang kita disalahgunakan enggak? Uang kita dipakai untuk sesuatu yang sesuai keyakinan kita atau tidak."


Editor: Sasmito 

  • Penggalangan dana
  • YLKI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!