BERITA

MLKI Dukung Gugatan Uji Materi Kolom Agama di KTP

"Gugatan tersebut bertujuan agar kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) untuk penganut kepercayaan juga ditulis "Kepercayaan". "

Dian Kurniati

MLKI Dukung Gugatan Uji Materi Kolom Agama di KTP
Foto: Muhammad Ridlo/KBR

KBR, Jakarta - Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) menyatakan dukungannya terhadap gugatan uji materi Undang-undang nomor 23 tahun 2006 juncto UU nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Gugatan tersebut bertujuan agar kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) untuk penganut kepercayaan juga ditulis "Kepercayaan".

Ketua Presidium MLKI, Suprih Suhartono mengatakan, pengosongan kolom agama pada KTP justru menimbulkan beragam persepsi di masyarakat, terutama tentang anggapan tak beragama.


"Sebenarnya, kami penghayat kepercayaan, harusnya sesuai dengan identitas kami. Kepercayaan juga. Jangan sampai isinya strip. Kalau isinya strip, itu menimbulkan banyak persepsi. Ada yang menerjemahkan tidak beragama, bisa menerjemahkan orang sesat. Enggak jelas kan. Makanya dengan ditulis "kepercayaan", sudah jelas itu bukan agama. Bahwa kepercayaan itu banyak, benang merahnya sama, apa yang dijalani kepercayaan," kata Suprih.


Suprih mengatakan, dia menjadi salah satu penganut kepercayaan yang di KTP-nya tertulis "Kepercayaan", yang diperolehnya dari kantor Kecamatan Bekasi Utara. Namun, kata dia, menulisan "Kepercayaan" di kolom agama KTP sudah tak bisa lagi, karena kantor kecamatannya ditegur Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Alasannya, penulisan kolom agama untuk pengenut kepercayaan menabrak ketentuan undang-undang.


Adapun Anggota Presidium MLKI Engkus Ruswana mengatakan, hingga saat ini dia menjadi salah satu penganut kepercayaan yang kolom agamanya kosong. Kata dia, memilih mengosongkan kolom agama di KTP memiliki banyak konsekuensi, terutama dianggap tak beragama.


"Sekarang begini, kalau misalnya bertamu kan ada aturan bertamu harus melapor, satu kali 24 jam. Itu kan dicatat. Begitu melihat agamanya kosong, lain kan pemikiran orang itu. Karena tidak semua orang paham undang-undang, jadi dianggap orang tidak beragama. Dan itu menyebar. Begitu satu orang tahu, Si A itu tidak beragama, hati-hati. Nah di kampung itu begitu problemnya. Makanya kalau ada kasus orang meninggal, Naon ini orang tidak beragama dikubur di sini?" kata Engkus.


Engkus berkisah, pada 2001 lalu, proses pemakaman ibunya harus melewati proses yang rumit karena kepercayaannya. Kata dia, ibunya memiliki wasiat agar dimakamkan di kampung. Namun, saat hendak dimakamkan, warga dan tokoh agama di kampungnya menolak karena dianggap bukan beragama muslim. Oleh karena itu, ibunya terpaksa disalatkan dulu di masjid dan dimakamkan dalam tata cara muslim.


Sebelumnya, penganut kepercayaan menggugat UU Adminstrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena keberatan harus mengosongkan kolom agama di KTP. Mereka menggugat Pasal 61 ayat 1 dan ayar 2 UU Administrasi Kependudukan. Mereka beralasan, pengosongan kolom itu membuat mereka mendapatkan hambatan dalam mendapatkan hak-haknya.

Editor: Sasmito 

  • KTP
  • aliran kepercayaan
  • mahkamah konstitusi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!