NASIONAL

BNP2TKI: KTKLN Bisa Disatukan dengan Paspor

"Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tengah menyiapkan perangkat hukum dan undang-undang terkait perintah Presiden Joko Widodo untuk menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)."

Antonius Eko

BNP2TKI: KTKLN Bisa Disatukan dengan Paspor
BNP2TKI, KTKLN, TKI

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tengah menyiapkan perangkat hukum dan undang-undang terkait perintah Presiden Joko Widodo untuk menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).


Pasalnya, KTKLN yang selama ini menjadi salah satu syarat bagi TKI yang ingin bekerja ke luar negeri itu kerap menjadi sapi perah parah pihak Imigrasi.


Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid menyatakan, salah satu yang bisa diambil adalah menyatukan KTKLN dengan paspor, sehingga tidak perlu ada revisi undang-undang. Sementara bagi buruh yang berangkat ke luar negeri, tak perlu menunggu keluarnya KTKLN.


“Intinya adalah memudahkan pelayanan bagi TKI sehingga menghindari adanya pungli yang memanfaatkan KTKLN sebagai alat untuk memeras. Harus ada diregulasi, kalau paspor sudah keluar tidak ada alasan. Karena ini ada tuntutan dari masyarakat, tidak ada jalan lain harus kita tindak lanjuti. Kalau perlu ada perpu kita siapkan instrumennya. Kalau tak ada perpu, bisa dirangkap dalam paspor,” kata Nusron. 


Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia mengeluhkan pungutan liar untuk pengurusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).


Bekas Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU) PPILN, Nova Riyanti Yusuf (Noriyu) mengatakan, KTKLN penting untuk pendataan TKI, namun kenyataannya, KTKLN justru menjadi sumber masalah karena TKI tetap dimintai uang pengurusan sampai dua kali lipat dan prosesnya juga terlalu bertele-tele.


 


  • BNP2TKI
  • KTKLN
  • TKI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!