NASIONAL

Pemerintah Diminta Selidiki Opsi Lain Penyebab Penyakit Ginjal Akut

"Permintaan ini disampaikan Masdalina merespons sikap pemerintah yang tampak mengerucutkan penyebab penyakit tersebut pada cemaran zat Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada jenis obat sirop"

Sadida Hafsyah

Pemerintah Diminta Selidiki Opsi Lain Penyebab Penyakit Ginjal Akut
Ilustrasi ginjal. (Foto: www.medicalgraphics.de/CC-BY-ND 3.0)

KBR, Jakarta- Kepala bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane meminta pemerintah tetap membuka opsi untuk menyelidiki adanya faktor lain penyebab penyakit ginjal akut pada anak.

Permintaan ini disampaikan Masdalina merespons sikap pemerintah yang tampak mengerucutkan penyebab penyakit tersebut pada cemaran zat Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada jenis obat sirop.

"Gagal ginjal akut sendiri bukan hanya karena obat berbahaya saja penyebabnya. Beberapa kasus, pendarahan, kemudian juga dehidrasi, lalu infeksi penyakit menular yang kronis, itu cukup banyak yang pada gangguan ginjalnya sendiri. Nah, ini harus bisa dipisahkan. Jangan hanya karena empat spesimen di biopsi, hasil biopsi menyatakan itu. Kemudian hal tersebut yang diduga menyebabkan," ujar Masdalina saat dihubungi KBR, Rabu, (01/11/22).

Kepala bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menyebut pemerintah seharusnya memegang prinsip asas praduga tak bersalah pada penyelidikan penyebab penyakit ginjal akut pada anak.

"Ingat di kepolisian, di epidemiologi terutama, ada asas praduga tak bersalah. Ekstremnya kita sering mengatakan lebih baik melepaskan penjahat daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Jadi itu yang menjadi catatan kita ya. Kalau memang ini sudah dibawa ke ranah pidana, kita juga harus bersiap untuk menyatakan bahwa dugaan kita itu benar. Jangan sampai itu berbalik pada pemerintah sendiri," imbuhnya.

Ia juga mengkritisi sikap pemerintah yang kurang responsif pada awal mula perkembangan kasus penyakit ginjal akut pada anak. Tetapi, justru cepat tanggap setelah jumlah kasus meningkat pesat.

"Kita sering terlambat mendeteksinya. Ini sebenarnya Jakarta sudah dari bulan Juli melihat ada peningkatan kasus. Teman-teman di RS juga melihat dari bulan Juli. Tapi, pemerintah baru bereaksi bulan Oktober. Jadi ada jeda waktu cukup panjang 3-4 bulan untuk melakukan respons. Dan responsnya ya, terlambat mendeteksi, kecepatan merespons. Padahal seharusnya kita cepat mendeteksi, tetapi hati-hati dalam merespons," tegasnya.

Ratusan Kasus Penyakit Ginjal Akut

Sebelumnya, Kementerian Kesahatan (Kemenkes) mencatat, kasus ginjal akut telah mencapai 304 pasien se-Indonesia. Juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan pasien penyakit ginjal akut tersebar di 27 provinsi, terbanyak ada di DKI Jakarta.

"Sampai tanggal 31 Oktober, total kasus kita ada 304. Dan yang masih dirawat di seluruh Indonesia sebanyak 46 kasus, dan meninggal 159 kasus atau 52 persen, danan sembuh 99 kasus. Jadi ini per 31 Oktober. Nah, ini gambaran pasien. Jadi pasien yang laki-laki dan perempuan masih sama ya. Yang laki-laki 59 persen, perempuan 41 persen," ucap Syahril dalam keterangan persnya, Selasa, (01/11/22).

Juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril menjelaskan pasien gangguan ginjal akut tersebut paling banyak berusia 1 hingga 5 tahun. Total lebih dari seratus pasien.

"Ada terbanyak itu di kelompok umur 1-5 tahun sebanyak 106 anak. Kemudian di bawah 1 tahun (sebanyak) 21 anak, dan seterusnya 23 (kasus) pada (usia) 6-10 tahun. Dan ada 9 (kasus) anak pada (usia) 11-18 tahun," pungkas Syahril.

Meski belum dipastikan, sejauh ini, Kemenkes mengerucutkan cemaran bahan etilen glikol pada sejumlah jenis obat cair atau sirop, sebagai penyebab penyakit ginjal akut pada anak.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • gagal ginjal akut misterius
  • Penyakit Ginjal Akut
  • Ginjal
  • Kemenkes
  • BPOM
  • PAEI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!