NASIONAL

ICW: Wacana Keadilan Restoratif Tak Relevan dengan Tugas KPK

"Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Monitoring ICW Lalola Easter menyebut, restorative justice dinilai kurang tepat untuk menangani kasus-kasus korupsi."

restorative justice

KBR, Jakarta - Wacana penerapan restorative justice atau atau keadilan restoratif dalam penanganan kasus korupsi justru dinilai sebagai ajang pemberian "karpet merah" bagi koruptor.

Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menyebut, restorative justice dinilai kurang tepat untuk menangani kasus-kasus korupsi yang ada. Pernyataan itu disampaikan Lalola saat menanggapi usulan wacana restorative justice yang sebelumnya dilontarkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, Johanis Tanak.

“Wacana ini juga berpotensi besar memberikan karpet merah untuk koruptor. Ini sebagai sebuah kemungkinan terjadi, semacam transaksional karena itu adalah semacam mekanisme yang kalau kemudian disahkan itu jadi mekanisme yang bisa dipilih. Tentu saja itu membuka peluang terjadinya transaksi diantara tersangka,” ujar Laola yang dikutip dari kanal Youtube Sahabat ICW, Kamis (10/11/2022).

Lalola menambahkan, wacana restorative justice tidak relevan dengan tugas-tugas KPK. Pasalnya, Lalola menilai, saat ini performa KPK sedang tidak baik-baik saja karena sejumlah catatan miring terkait kinerja KPK menangani kasus korupsi.

“Jadi kita harus hati-hati betul, kondisi KPK saat ini juga bukan yang baik. Banyak sekali catatan miring. Dan itu tentu tidak akan semakin membaik dengan performa KPK yang jelas-jelas kian menurun,” katanya.

Ditambahkan Lalola, wacana penerapan restorative justice dalam kasus korupsi belum dapat menjamin tidak adanya "tikus-tikus pemakan uang rakyat" lagi.

Ia pun mempertanyakan terkait skema penerapan penerapan restorative justice yang jelas.

Restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula.

Makna restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.

Baca juga:

- Jaksa Agung Setuju Cakupan Restorative Justice Diperluas

- Vonis Hukuman Mati Meningkat di Era Jokowi, Imparsial Minta Evaluasi

Sementara itu, dikutip dari laman polri.go.id, Kepolisian telah menyelesaikan 15.811 perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Jumlah itu dihimpun sejak 2021 hingga 2022. Artinya, Polisi berhasil menangani 9,3 persen perkara dengan mekanisme keadilan restoratif.

Sejak Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice diterbitkan, terdapat 275.500 kasus tindak pidana. Dari jumlah itu, polisi menyelesaikan 170.000 perkara dan sebanyak 15.811 di antaranya melalui mekanisme keadilan restoratif.

Jika 15.811 kasus tersebut tidak ditangani melalui mekanisme keadilan restoratif, otomatis akan berimbas pada meningkatnya kapasitas Lapas atau over kapasitas.

Disebutkan pula, Polda Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan instansi yang paling banyak menerapkan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus.

Sementara Polda Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Polda Bengkulu adalah tiga instansi yang paling rendah dalam menerapkan keadilan restoratif,. Khusus penghentian penyidikan melalui mekanisme keadilan restoratif, lanjut dia, paling banyak diterapkan Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Timur, dan Polda Jawa Barat.

Sebaliknya, yang paling sedikit menghentikan kasus melalui keadilan restoratif ialah Polda Kalimantan Timur, Polda Bengkulu, dan Polda Nusa Tenggara Timur.

Editor: Fadli Gaper

  • restorative justice
  • keadilan restoratif
  • KPK
  • ICW

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!