BERITA

Hari Anti- Kekerasan Perempuan, Menteri PPPA: Selama Pandemi Kasus Meningkat

""Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, melainkan juga krisis ekonomi dan sosial yang meningkatkan risiko terjadinya kekerasan berbasis gender terhadap perempuan," "

Ranu Arasyki

Aktivis melakukan aksi simpatik dengan membagikan bunga di salah satu jalan di Kota Sorong, Papua Ba
Aktivis melakukan aksi simpatik dengan membagikan bunga di salah satu jalan di Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (25/11/21). (Foto: Antara/Olha Mulalinda)

KBR, Jakarta- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam selama masa pandemi Covid-19.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan, berdasarkan sistem informasi online data Simfoni PPPA per Maret 2020 hingga Oktober 2021 terdapat hampir 15 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa. Jumlah korban mencapai lebih dari 15 ribu orang.

Bintang tak menyebut berapa banyak peningkatan kasus pada tahun sebelumnya.

"Dalam lingkup global, pandemi disebut-sebut telah memperburuk ketimpangan gender dan membawa situasi sangat berbahaya bagi perempuan. Hal ini dikarenakan, Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, melainkan juga krisis ekonomi dan sosial yang meningkatkan risiko terjadinya kekerasan berbasis gender terhadap perempuan," katanya dalam pada acara Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan - Yayasan CARE Peduli dan UN Women Indonesia, daring, (25/11/2021).

Bintang berujar, bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan ialah kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran.

Peningkatan kasus kekerasan dan kejahatan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, melainkan juga secara online. Mengutip data dari Komnas perempuan 2021, kasus kejahatan berbasis gender online mengalami peningkatan empat kali lipat selama 2020.

Baca Juga:

"Adapun kejahatan seksual tidak hanya dalam ruang fisik, tapi dalam lingkup daring. Penggunaan gawai secara intensif untuk kegiatan daring di masa pandemi telah menghadapkan perempuan pada bentuk kekerasan baru, yakni kekerasan berbasis gender online," ujarnya.

Menurut Bintang, selain disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa atau gender, belum adanya aturan hukum mengenai kekerasan secara komprehensif urut menjadi faktor yang melanggengkan isu kekerasan di Indonesia.

Kata dia, berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan di Indonesia sudah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan nasional 2016 yang dirilis Komnas Ham, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Bahkan, catatan tahunan Komnas Perempuan 2020 memperlihatkan selama 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat delapan kali lipat.

Hingga kini, Kementerian PPPA terus berupaya menghapus praktik-praktik kekerasan yang masih menimpa perempuan melalui berbagai program dan aksi. Khususnya dalam meningkatkan koordinasi, mendorong sinergi, dan memperluas jejaring dalam pencegahan.

Selain itu, pihaknya juga berupaya menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian/lembaga, aparat penegak hukum, sumber daya layanan hingga masyarakat itu sendiri.

Saat ini, katanya, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu dari lima prioritas kerja yang diarahkan presiden hingga 2024. Arahan itu fokus pada lima aksi, pertama, yakni prioritas pada aksi pencegahan kekerasan yang melibatkan, keluarga, sekolah, masyarakat.

Kedua, memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan. Ketiga, melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus. Keempat, melaksanakan proses penegakan hukum yang memberikan efek jera dan berikan layanan pendampingan hukum. Kelima, memberikan layanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial. Selain itu, Kementerian PPPA berupaya melakukan sejumlah langkah untuk mengampanyekan dan menekan jumlah kasus kekerasan seksual, yakni dengan cara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 

"Sebagai lembaga yang turut membentuk nilai-nilai sosial, media menjadi alat yang ampuh untuk mengadvokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender. Salah satunya melalui produksi konten yang sensitif gender dan transformatif gender," katanya.


Editor: Rony Sitanggang

  • kekerasan seksual
  • Kementerian PPPA
  • Permendikbud Kekerasan Seksual
  • kejahatan seksual

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!