BERITA

Defisit Meningkat, Pemerintah Andalkan Kebijakan Countercyclical

Defisit Meningkat, Pemerintah Andalkan Kebijakan Countercyclical

KBR, Jakarta - Pemerintah masih mengandalkan kebijakan countercyclical (kebijakan antisiklus) untuk menjaga ketersediaan belanja negara di tengah keterpurukan ekonomi akibat pukulan dari Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan berhati-hati menggunakan instrumen fiskal counter cyclical tersebut meski keputusan penggunaan anggaran itu dinilai sangat berguna selama masa pemulihan.

Menurut dia, kebijakan tersebut diambil karena Indonesia masih mengalami defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kendati masih terbilang rendah dibandingkan negara-negara lain.

Baca Juga:

"Semua negara di dunia meningkatkan defisit anggaran akibat Covid-19 yang memukul sisi penerimaan negara, sedangkan belanja negara meningkat," katanya pada acara Kongres AAIPI Tahun 2021, Selasa (23/11/2021).

Dia mencontohkan, saat ini Thailand mengalami defisit mencapai 4,7 hingga 6,5 persen, Filipina sekitar 5,7 hingga 7,6 persen, China di atas 11 persen, India di atas 12 persen, dan Brazil mencapai 13 persen.

"Perbandingan dari berbagai negara memberikan kita perspektif mengenai bagaimana instrumen fiskal merupakan yang sangat penting dan diandalkan pada saat menghadapi musibah seperti Covid-19, penurunan kesejahteraan masyarakat atau ancaman di bidang sosial karena pendapatan dan pekerjaan yang hilang. Ini yang menjadi pertaruhan dan tugas bagi kita semua," paparnya.

Utang Kian Bengkak

Saat ini, rasio utang Indonesia terhadap Product Domestic Bruto (PDB) mengalami kenaikan sebesar 41 persen pada 2021, dibandingkan tahun lalu yang mencapai sekitar 30 persen. Penaikan tersebut disebabkan defisit anggaran negara berada di angka 6,1 persen, 5,3 persen dan 5,5 pada 2021.

Sri Mulyani menceritakan, saat menghadapi Covid-19 di tahun pertama, penerimaan pajak Indonesia anjlok mendekati 18 persen. Kondisi itu merupakan penurunan yang sangat tajam dari penerimaan negara.

Baca Juga:

"Maka, belanja negara dilakukan pengetatan, refocusing, namun tetap hadir melindungi masyarakat dari ancaman Covid-19 dan memberikan bantuan sosial atau bantuan kepada sektor ekonomi yang sangat membutuhkan. Maka muncul berbagai program PEN. Program ini membutuhkan anggaran pada saat penerimaan negara turun. Maka defisit kita meningkat menjadi 6,1 persen yang sebelumnya tidak pernah lebih dari 3 persen dari PDB," jelasnya.

Dengan makin terkendalinya penanganan Covid-19 per November ini, konsumsi dan produksi mulai berjalan normal. Padahal, kata Sri Mulyani, pada kuartal III/2021 Indonesia menghadapi tekanan yang sangat dalam dengan adanya lonjakan varian delta Covid-19.

Pada Juli dan Agustus 2021 konsumsi mengalami penurunan, pun demikian di segi produksi dengan Purchasing Managers Index (PMI) yang tersungkur hingga 40,1 persen.

Dia menambahkan, momentum recovery dan rebound pada Oktober tahun ini diharapkan dapat berlanjut di hingga akhir tahun. Menurut dia, pada kuartal IV/2021 pemulihan ekonomi akan terakselerasi kembali. Hal ini ditopang oleh sejumlah indikator, yakni konsumsi, produksi, investasi, dan ekspor yang melonjak hingga di atas 50 persen.

Editor: Agus Luqman

  • Sri Mulyani Indrawati
  • pandemi covid-19
  • APBN
  • Kemenkeu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!