HEADLINE

Bivitri Susanti: Uji Formil UU Ciptaker, Putusan MK Sarat Nuansa Politis

"Putusan inkonstitusional bersyarat oleh MK itu dinilai sarat muatan politis. Indikasi itu dilihat dari amar putusan dan adanya 4 dari 9 hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion."

Putusan MK Soal UU Ciptaker
Mahasiswa dan aktivis di Jambi saat aksi menolak UU Cipta Kerja di Kantor DPRD Jambi (8/10/2020). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat mengkonfirmasi buruknya proses pembentukan undang-undang tersebut.

Namun, putusan inkonstitusional bersyarat oleh MK itu dinilai sarat muatan politis. Indikasi itu dilihat dari amar putusan dan adanya 4 dari 9 hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion.

Sebelumnya, pada Kamis (25/11/2021), MK memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. MK menyatakan, proses pembentukan UU Ciptaker tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 sehingga cacat formil. Dalam putusannya, MK memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki undang-undang tersebut dalam waktu paling lambat dua tahun.

Lantas bagaimana membaca putusan tersebut, dan seperti apa mustinya pemerintah serta DPR menyikapi putusan MK tersebut? Berikut wawancara KBR bersama Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti yang dilakukan pada Jumat (26/11/2021):

Apa catatan anda terhadap putusan MK terkait UU Cipta Kerja?

Putusan ini kan uniknya adalah dia (MK - red) menyatakan sebuah proses itu inkonstitusional, tapi MK menyatakan undang-undangnya tetap berlaku sampai dengan dua tahun. Jadi kelihatan sekali nuansa politisnya ya. Karena kita tahu, kalau UU Ciptaker memang langsung begitu saja dibatalkan, akan ada keberatan yang luar biasa dari pihak pemerintah. Karena ini memang yang diinginkan pemerintah. Kan saat itu dipaksakan karena pemerintah ingin buru-buru punya UU Ciptaker. Nah jadi dibuatlah jenjang waktu dua tahun itu. 

Nah uniknya adalah memang putusan inkonstitusional bersyarat itu praktik yang sudah lazim dilakukan oleh MK kita, tapi biasanya pada putusan uji materil yang menguji pasal-pasal. Nah ini kan pada proses jadi unik sekali prosesnya, inkonstitusional tapi tetap berlaku sampai dua tahun. Nah dan keunikan ini karena MK itu seakan akan memisahkan antara proses dengan hasil. Prosesnya dibilang salah tapi hasilnya tetap mau diberlakukan paling tidak dua tahun ini. Nah ini kan yang membuat sebenarnya saya kira akan terburu-buru juga kalau misalnya kita katakan, masyarakat sipil dalam hal ini pemohon telah menang. Karena sebenarnya tidak menang juga sih ya. Karena ternyata UU tetap diberlakukan. 

Nah cuma memang dalam putusan yang sama dikatakan, selama dua tahun itu sampai UU yang baru nanti ada pemerintah tidak boleh membuat peraturan yang sama yang baru. Kalau yang sudah ada tetap berlaku tapi yang baru enggak boleh dibuat dan tidak boleh membuat kebijakan yang bernilai strategis terkait UU Ciptaker. Tapi kan tafsir bernilai strategis itu apa? Itu juga masih cukup bisa diperdebatkan dengan panjang. Jadi ini kelihatan politisnya.

Apa lagi yang mengindikasikan putusan MK tersebut bernuansa politis?

Politis itu juga bisa kita lihat dari dua hal. Rekam jejak MK sendiri juga memang seringkali mengeluarkan putusan yang nuasa politiknya kental. Yang saya maksud nuansa politik begini, MK itu kan lembaga hukum harusnya pertimbangan hukumnya lebih berat ke isu ataupun ke pertimbangan yang seharusnya hukum, logika hukumnya bisa dipertanggung jawabkan. Tapi MK selama ini memang banyak sekali mengeluarkan putusan punya nuansa politis. Seperti revisi UU KPK kemudian dulu ada putusan APBN. Itu nuansa politiknya sangat kental. 

Yang kedua adalah indikasi lainnya adalah. Kita perhatikan empat hakim yang punya pendapat berbeda atau dissenting opinion. Padahal hakim MK itu ada sembilan, berarti sebenarnya menangnya tipis walaupun di MK itu tidak voting tapi kan ada lima dibanding empat yang punya pendapat berbeda. Artinya yang berhasil membuat ada putusan inkonstitusional bersyarat ini hanya lima orang. Tipis sekali dibanding empat. Ini juga menunjukan ada nuansa politis perdebatan yang cukup panjang sehingga bisa sampai pada putusan ini.

Bagaimana seharusnya pemerintah dan DPR membaca putusan tersebut?

Kalau proses legislasinya dimulai legislasi untuk mengubah UU Ciptaker ini harus dimulai dari awal. Dan sekarang harus dilakukan sesuai betul dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Jadi harus partisipatif, harus lebih terbuka, kemudian harus tidak boleh lagi ada kesalahan ketik dan sebagainya yang sangat buruk ya. Kan kemarin proses legislasi UU Ciptakerja itu yang terburuk dalam sejarah legislasi indonesia. Nah itu semua harus diperhatukan. 

Yang kedua, pemerintah dan DPR betul-betul harus menghentikan pembuatan peraturan pelaksana yang diperintahkan oleh UU Ciptaker ini. Karena memang PP sudah banyak yang baru makanya sudah mulai diributkan misalnya soal upah minimum itu sudah keluar PP-nya, itu tetap berlaku. Tapi kan ada PP yang belum keluar, misal tentang Bank Tanah itu baru di UU Ciptaker. Berarti pembuatan PP itu harus distop. Tidak boleh ada PP itu sampai ada UU Ciptaker yang baru. Nah kemudian yang ketiga pemerintah dan DPR harus memperhatikan jadinya nanti dari proses itu masukan apa saja yang masuk dari masyarakat sipil. Berarti harus lebih baik dalam mengakomodasi dan memperhatikan juga kalau ada putusan-putusan lainnya yang terkait UU Ciptaker itu harus bisa diakomodasi kedalam proses pembahasan UU Ciptaker.

Baca juga:

MK Putuskan UU Ciptaker Inkonstitusional, Buruh: Cabut SK Upah Minimum!

Hormati Putusan MK, Pemerintah akan Perbaiki UU Cipta Kerja

Akankah ada kekosongan hukum nantinya?

Untuk peraturan yang sebenarnya sudah ada, sebenarnya bisa tidak ada kekosongan hukum karena sudah ada peraturan yang lama. Tapi memang untuk peraturan yang baru seperti Bank Tanah itu kan baru sekali. Memang tidak bisa dilaksanakan dulu dan tidak ada masalah dengan itu sebenarnya karena pada dasarnya UU Ciptaker itu kan uniknya karena dia mengubah UU lain yang sebenarnya sudah ada. Terus diganti sama dia. Jadi sebenarnya kalau dikatakan kekosongan hukum ya enggak ada juga.

Editor: Fadli Gaper

  • UU Cipta Kerja
  • uji formil uu cipta kerja
  • Mahkamah Konstitusi
  • Bivitri Susanti

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!