BERITA

Putusan PTUN Soal Tragedi Semanggi Dianggap Keliru, Kejagung: Banding

"Kejagung menilai ucapan ST Burhanuddin tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan konkret dalam penyelenggaraan pemerintah."

Wahyu Setiawan

Putusan PTUN Soal Tragedi Semanggi Dianggap Keliru, Kejagung: Banding
Sumarsih, Orangtua Wawan, Korban Semanggi 1 (Antara/ Nova Wahyudi)

KBR, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan akan mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Upaya itu diajukan terkait putusan melawan hukum atas ucapan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai pernyataan bahwa tragedi Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Feri Wibisono mengatakan, putusan PTUN tersebut keliru dan salah.

Menurut Feri, ucapan Jaksa Agung tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan konkret dalam penyelenggaraan pemerintah.

Ucapan itu, kata dia, hanya bentuk pemberian informasi dalam rapat kerja di DPR saja. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa di PTUN.

"Melihat pada banyaknya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan oleh pengadilan PTUN Jakarta, dan banyaknya kesimpulan-kesimpulan yang dibuat tidak berdasarkan kepada alat bukti yang ada," kata Feri dalam konferensi pers di Kantor Kejagung, Kamis (5/11/2020) sore.

Ia juga menilai, penggugat yang dalam hal ini adalah keluarga korban, tidak memiliki kepentingan yang dirugikan atas ucapan Jaksa Agung itu.

Menurut dia, kepentingan yang dirugikan yang bisa dijadikan gugatan seharusnya berkaitan dengan penanganan perkara, bukan ucapan.

"Sementara yang jadi objek sengketa bukan penanganan perkaranya, yang menjadi objek sengketa adalah ucapan penjelasan Jaksa Agung di dalam rapat kerja Komisi III DPR RI. Sehingga di sini hakim PTUN Jakarta mencampuradukan ini," jelasnya.

"Padahal ini spesifik bahwa faktor kepentingan menjadi parameter ujian apakah gugatan itu diperiksa atau tidak," tambahnya.

Selain itu, Feri juga menilai hakim PTUN telah mengabaikan alat bukti rekaman yang menjadi objek gugatan. Ia menyebut, ada kalimat Jaksa Agung dalam gugatan yang tidak ada dalam rapat kerja. Kalimat tersebut yakni: "Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan Ad Hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres (Keputusan Presiden) pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM".

Kejagung juga menilai hakim PTUN telah mengabaikan alat bukti rekaman raker di DPR yang menayangkan bahwa Jaksa Agung telah menguraikan proses penyidikan dan kendala berkas perkara.

Sehingga ia menilai Jaksa Agung tidak menyembunyikan fakta mengenai kewajibannya sebagaimana yang dipertimbangkan majelis hakim.

"Sehingga majelis hakim PTUN Jakarta membuat penilaian atas sesuatu fakta, tapi tidak berdasarkan bukti sebenarnya. Jadi penilain tanpa dasar alat bukti. Karena alat bukti ini tidak dipertimbangkan," ujar Feri.

Kejaksaan juga menilai surat terbuka penggugat bukan merupakan banding administrasi atas ucapan Jaksa Agung. Surat terbuka itu dimasukan dalam dalil penggugat.

Menurutnya, isi surat terbuka itu tidak berisi upaya banding atas ucapan Jaksa Agung, melainkan meminta Presiden menindaklanjuti penanganan pelanggaran HAM berat.

Sebelumnya pada rapat kerja di DPR 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa insiden Semanggi I dan II bukan merupakan sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga Komnas HAM seharusnya tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Keluarga korban kemudian mengajukan gugatan ke PTUN dan dinyatakan bahwa tindakan Jaksa Agung melawan hukum.


Editor: Ardhi Rosyadi

  • Semanggi
  • Kejaksaan Agung
  • PTUN
  • Banding

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!