BERITA

Jejak Kearifan Lokal Gambut

"Di ekosistem gambut, kearifan lokal mendorong warga untuk hidup berdampingan dengan alam. Apa saja nilai-nilai budaya yang ada pada kearifan lokal di wilayah gambut? "

KBR

Kerajinan tangan
Salah satu kegiatan masyarakat Pulang Pisau.

Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi suatu masyarakat. Kearifan lokal jadi semacam panduan bagi warga untuk beraktivitas dan menjawab kebutuhan mereka. Di ekosistem gambut, kearifan lokal mendorong warga untuk hidup berdampingan dengan alam. Apa saja nilai-nilai budaya yang ada pada kearifan lokal di wilayah gambut? Podcast Gambut Bakisah kali ini menyoroti Jejak Kearifan Lokal.

Narasumber: Antropolog Universitas Palangkaraya, Sidik Uso; Petani atau Peladang Komunitas Mantangai Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang bernama Norhadi Karben; dan Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, Pulpis Nisil Tuman.

Aika: Halo, kita bertemu lagi di Podcast Gambut Bakisah, sebuah podcast yang mengajak kita belajar, kenal dan lebih akrab lagi dengan gambut. Kerjasama KBR dengan Kemitraan. Saya Aika Renata.

Asrul: Dan saya Asrul Dwi.

Asrul: Saya jadi ingat pengalaman masuk ke gambut. Sebagaimana dengan pengalaman pertama lainnya pasti terkenang. Tempat tinggal saya waktu kecil ngga ada gambutnya. Jadi pas pertama masuk amazing. Awalnya kebayang kayak hutan amazon ternyata beda ya booo. Waktu itu saya lepas sandal dan jalan diatas lahan gambut. Tapi harus hati-hati karena tiap pijakannya bisa berbahaya. Ada lahan yang becek biasa tapi ada juga yang dalam banget. Banyak juga saya liat bekas kebakaran.

Aika: Antropolog Universitas Palangkaraya, Sidik Uso bilang juga kalau gambut dan masyarakat itu seperti direkatkan dengan sungai. Sepenting itu gitu peran sungai buat mereka. Saling membutuhkan dan melengkapi.

Sidik:

Jadi kehidupan masyarakat lokal itu tidak terlepas dari sungai yang besar dan anak-anak sungainya. Anak-anak sungai ada lagi anak-anaknya begitu. Itu kehidupan masyarakat. Dan gambut sangat terkait dengan sungai. Sungai sebagai bagian dari keseimbangan gambut itu sendiri.

Aika: Jadi ya ekosistem gambut itu bukan bicara soal lahan gambut tok. Tapi juga bicara tentang manusia, sungai, hutan dan berbagai makhluk hidup lainnya di wilayah tersebut. Dan supaya happily ever after, tentu harus ada keseimbangan dong. Lahan gambut dijaga, pemanfaatannya juga dijaga. Misalnya, ada warga di Kalimantan Tengah yang kerap memanen rotan yang tumbuh secara alami di hutan bergambut.

Sidik:

Rotan itu sendiri, dia hidupnya adalah di hutan. Jadi semakin hutannya lebat, maka produksi rotannya semakin tinggi juga produksinya. Makin banyak juga. Nah jadi antara rotan, hutan, dan sungai itu menjadi bagian dari sebuah ekosistemnya. Dalam keadaan yang seperti itu, manusia itu sendiri, masyarakat lokal itu dia merasa bagian dari sebuah ekosistem tadi.

Asrul: Bukan cuma rotan nih. Tapi ada juga yang sering menangkap ikan, atau bercocok tanam. Pada dasarnya, sama dengan masyarakat di daerah lain. Lingkungan menjadi bagian yang penting untuk mereka. Lah ya gimana lagi… kan kita hidup di situ, ya kan..

Aika: Nah kalau buat masyarakat ada semacam panduannya gitu.. supaya mereka tetap berkesinambungan dengan si gambut itu… ada kearifan lokal di antara mereka.

Asrul: Kearifan lokal ya.. Itu semacam bagian dari tradisi suatu masyarakat kan ya. Ada nilai-nilai budaya yang dipercaya baik di mata masyarakat, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Sekaligus menjaga ekosistem gambut dari kerusakan.

Sidik:

Ketika kita bicara tentang kerusakan lingkungan, maka itu tidak sekedar membicarakan kerusakan lingkungan, tapi kita bicara tentang peradaban. (0:15:07.6) Ada nilai-nilai adat yang terkait dengan lingkungan alam. Sehingga semakin banyak upacara-upacara adat dilakukan, maka sebetulnya di situlah bentuk pelestarian-pelestarian dari nilai-nilai budaya lokal tadi. Nah tetapi disini juga tidak dipahami bahwa bahwa upacara adat itu bagian dari pelestarian nilai-nilai budaya.

Aika: Ada contoh misalnya di Sumatera Utara. Suku Batak yang tinggal di sana punya upacara yang Namanya Sipaha Lima. Peserta upacara, laki-laki dan perempuan, pakai pakaian adat. Lalu di ritual yang mereka lakukan, ada penyerahan persembahan kepada Sang Pencipta, diiringi musik dan tarian. Ini jadi semacam cara berterima kasih pada alam kan…

Kalau di masyarakat sekitar gambut di Kalimantan Tengah tuh punya simbol budaya tertentu yang menggambarkan pentingnya gambut buat mereka. Namanya: batang garing.

Sidik:

Batang garing itu adalah simbol keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dengan manusia dan sang pencipta. Kemudian dari simbol keseimbangan itu diturunkan lagi menjadi etika yang disebut dengan Belombahdat . Jadi hidup beradab. dalam hidup beradap tadi lah, di situ fungsi bagaimana kita memperlakukan, memanfaatkan dan memperlakukan alam semesta tadi.

Asrul: Nilai budaya yang dipertahankan sebetulnya mendorong masyarakat menjaga lingkungannya ya. Seperti upacara adat misalnya, itu menjadi bagian yang wajib dilakukan sebelum mereka membuka lahan.

Sidik:

Di situ juga dikaitkan dengan apa yang disebut dengan menyanggar. Upacara adat penyanggar sana. Ketika kita ingin membuka lahan, misalnya untuk pertanian atau apa saja gitu ya. Maka itu harus meminta izin dulu. meminta izin dulu kepada roh leluhur penghuni kawasan itu. Kalau kita tidak melakukan itu maka kita terkena pali, terkena pantangan gitu ya.

Asrul: Nah Petani atau Peladang Komunitas Mantangai Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang bernama Norhadi Karben, bisa menjelaskan lebih lanjut soal ini. Dia termasuk salah satu pelakunya nih..

Asrul: Dimulai dari pali atau pantangan. Masyarakat lokal, dalam hal ini Suku Dayak Ngaju, percaya upacara atau ritual-ritual seperti ini harus dilakukan untuk kelancaran kegiatan bercocok tanam yang akan dilakukan.

Norhadi:

Ada istilah kita di sini, saat kita membuka lahan kemudian tidak melakukan ritual sebelumnya. Roh atau penunggu wilayah itu biasanya kalau menurut kepercayaan kami di sini bisa marah. Artinya karena kita tidak minta izin, akhirnya kita bisa diserang. Orang yang sering terjadi itu semacam kayak penyakit yang mendadak di lahan, saat dia membuka lahan. Atau bisa juga hasil panennya tidak ada, diserang hama gitu kan. Itu yang sering terjadi.

Aika: Wah ngeri ya…. Ini kayaknya yang disebut Antropolog Universitas Palangkaraya Sidik Uso sebagai “hidup beradab” kayaknya ya…

Norhadi:

Kalau untuk ritual sendiri sebenarnya ada beberapa jenis ritual. Kalau misalkan berladang itu dia sistem berkelompok, seperti yang kami kelola sekarang sistem berkelompok, itu kita lakukan ada dua jenis kegiatan biasanya yang kita lakukan. Ini tergantung dari pada kebutuhan maupun dana yang kita siapkan di dalam kelompok itu sendiri.

Asrul: Dalam praktiknya, ritual ini melibatkan banyak pihak loh. Nggak cuma si pengelola lahan. Jadi nggak bisa tuh diem-diem sendirian, karena apa yang dilakukan satu orang di lahan gambut akan diketahui juga oleh orang lain.

Norhadi:

Pertama ada istilah menyemburuk di sini. Nah menyemburuk ini biasanya kita dapat melakukan kegiatan itu, pemilik lahan, kemudian juga tokoh masyarakat adat yang mengerti tentang ritual itu, kemudian yang ketiga adalah para mantri adat yang ada di desa ini, di bawahnya pademangan, damang. Jadi itu bisa kita lakukan ketika pas kita mau memulai membuka lahan, untuk ritual itu. Itu yang biasa kita lakukan. Kalau ritual yang lain biasanya waktu panen, itu kita lakukan juga ritual.

Asrul: Syarat lainnya, satu Kepala Keluarga (KK) hanya boleh mengelola satu hektar lahan.

Norhadi:

Kalau di dalam sistem kelompok tani yang saat ini kami lakukan, itu cuma satu hektar per Kepala Keluarga (KK). Dan itu pun bukan menjadi hak milik kami. Tapi kami hanya memiliki hak guna kelola atau hak kelola atau hak guna usaha diatas tanah itu. Karena tanah itu adalah tanah adat komunal, milik bersama.

Aika: Tanah adat ya. Eh berarti ada semacam pembagian wilayah gitu nggak sih?

Asrul: Ada. Kalau di Kalimantan Tengah, Pak Norhadi bilang wilayah di kampungnya terbagi menjadi tiga bagian.

Norhadi:

Ada namanya yang namanya Hutan Pokok Hewan. Jadi Hutan Pokok Hewan ini memang tidak bisa dirusak atau dijamah oleh masyarakat. Jadi di situ biasa sebagai tempat melakukan ritual. Jadi kalau kita sebut di kampung ini, ada Danau Pulau Begantung namanya. Nah selain itu juga ada juga wilayah kawasan yang kami sebut Sepan. Jadi Sepan ini sebagai tempat masyarakat untuk mencari kulit kayu, binatang, ikan, obat-obatan. Itu yang dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan hidupnya. Kemudian yang ketiga itu ada namanya Kaleka. Nah Kaleka ini terbagi menjadi beberapa bagian. Terutama tempat berkebun, kemudian tempat berladang, ada pemukiman, dan banyak lagi lah lahan itu digunakan oleh masyarakat.

Aika: Oke.. Ngomong-ngomong yang dibudidayakan di ladang mereka itu apa saja ya?

Asrul: Untuk tanaman ada padi lokal, padi ladang kalau orang sana menyebutnya. Itu mulai bertanam sekitar awal bulan Oktober, untuk dipanen di bulan Maret. Ada juga tanaman lain seperti sayur-sayuran, singkong, pisang, ubi jalar, sampai jagung. Ada juga kebun karet yang ditanam berdampingan dengan hutan.

Norhadi:

Sistem perkebunan orang Dayak itu yang sifatnya monokultur itu tidak ada, tidak ada. Karena kebiasaan yang dilakukan oleh baik leluhur pendahulu kami sampai sekarang itu, lebih pada menjaga dan merawat selain daripada pohon karet yang memang ditanam itu. Jadi sistemnya kebun pohon karet yang kita tanam itu besar, pohon-pohon yang lain pun ikut besar. Sehingga wilayah areal perkebunan atau kebun masyarakat itu itu banyak manfaatnya.

Aika: Loh maksudnya kayak nggak ada perawatan lahan yang intensif gitu ya?

Asrul: Iya, tapi ini ada tujuannya. Kembali lagi pada kearifan lokal, hubungan manusia dengan alam dijaga lewat sistem budidaya seperti ini.

Norhadi:

Selain juga bermanfaat bagi kami selaku pemilik, juga bermanfaat bagi satwa binatang yang hidup di wilayah itu. Karena semua tersedia di situ. Baik dia buah, pohon yang berbuah yang bisa dimakan binatang itu dimakan. Makanya justru itu sebenarnya, kami sering kedatangan orang misalkan tamu dari luar, ketika mereka melihat kebun-kebun kami, mereka menyebut itu adalah hutan karet. Kami bilang ini kebun karet kami, bukan hutan karet. Karena memang kebun ini dikelola dijaga ditanam. Kenapa tumbuh tanaman lain, karena memang itu dibiarkan. Supaya kehidupan-kehidupan di kebun itu bisa terjadi.

Aika: Unik ya. Orang yang belum menyelami budaya mereka, mungkin mengiranya masyarakat lokal belum paham cara berbudidaya yang baik. Padahal ada makna penting di balik itu. Tapi rasa penasaran saya belum tuntas nih. Hasil panen dari tanaman-tanaman itu, untuk konsumsi pribadi atau bisnis ya?

Asrul: Secara umum, hasil panen seperti beras akan disimpan di lumbung untuk kebutuhan pribadi keluarga terlebih dahulu. Setelah itu baru diperjualbelikan.

Norhadi:

Karena kita yang ada di desa ini, jaminan utama yang paling kita prioritaskan itu adalah beras. Kalau yang lain-lain misalkan seperti sayur, ikan, itu tidak terlalu mengkhawatirkan bagi kami. Yang penting dulu ketersediaan berasnya itu ada, selama menjelang musim panen tahun berikutnya. Sebab kalau di daerah kita ini, untuk sayur-sayur itu, seandaikata kita pun tidak menanam sayur atau budidaya sayur, sayur itu banyak tersedia di kebun karet yang selama ini juga kami kelola. Makanya itu kami selalu menjaga api di ladang supaya kebun itu tidak terbakar.

Aika: Disebut lagi kan tuh. Ternyata kalau kebun karet masyarakat adat Dayak Ngaju itu manfaatnya banyak.

Sekarang ada satu yang mengusik saya: menjaga ladang dari api. Bukannya sistem tebas bakar, pembukaan lahan dengan membakar gitu, salah satu tradisi mereka juga ya?

Asrul: Hehe iya. Tapi Pak Norhadi kemarin menggambarkan kalau sistem pembakaran lahan yang mereka lakukan sebenarnya penuh pertimbangan dan pengawasan. Pertama dengan membuat semacam sekat, batas sekat seperti parit yang mengelilingi ladang, sebelum pembakaran dilakukan. Untuk diketahui, ladang biasanya berada di sekitar kebun produktif karet, buah, dan lain-lain.

Selanjutnya mereka juga akan memperhatikan arah angin. Ritual pembukaan lahan dilakukan salah satunya untuk berdoa agar angin hanya bergerak satu arah ketika pembakaran dilakukan.

Norhadi:

Jadi kita kalau misalkan angin dari utara, sementara kebun kita juga di utara, maka kita membuat mata api itu tidak bisa dari selatan. Jadi kita harus dari utara juga. Pokoknya menghindar api itu, dia tidak menjalar ke arah kebun. Setelah itu pun ketika pembakaran selesai, itu memang betul-betul harus padam ketika meninggalkan lahan itu. Karena di tengah lahan ladang itu sudah menjadi kebiasaan kami, itu kita membuat parit ukuran 1 meter kali 1 meter, atau 1 kali 2 meter gitu kan. (0:06:10.5) Karena paling yang kami khawatirkan itu kenapa kita buat seperti itu supaya ada ketersediaan air. Misalkan masih ada titik mata api yang masih hidup, nah itu kita siram pakai air itu.

Aika: Cukup teliti loh mereka. Tapi kenapa kalau terjadi bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), masyarakat kerap disebut sebagai penyebabnya ya?

Asrul: Yang nggak paham itu bukan cuma kamu dan saya. Tapi juga orang di lokasi itu seperti Pak Norhadi. Sebab menurut dia setiap masyarakat melakukan pembakaran, mereka akan mengawasi lahan sampai api benar-benar mati.

Norhadi:

Sejatinya bukan kita sebagai petani ini yang melakukan pembakaran itu sampai meluas ke daerah-daerah lain. Toh kalau misalkan kita membiarkan secara otomatis kita membiarkan kehidupan kami semakin sulit. Karena kebun-kebun kami yang ada di sekitar lahan ladang itu terbakar semua. Bahkan kami menyebut kebun-kebun kami itu semacam toko bagi kami, minimarket. Karena di situ banyak kebutuhan, keperluan kami yang bisa kami dapatkan setiap hari.

Aika: Soal kesakralan serta eratnya hubungan manusia dengan alam, juga disebut oleh AMAN. AMAN ini adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Ketua pengurus AMAN di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Pulpis Nisil Tuman menyebut masyarakat adat punya tempat sakral untuk memanjatkan doanya.

Pulpis:

Kami bilang itu tempat-tempat orang halus, orang-orang gaib itu lah. Itu ya ada rumahnya, saya katakan rumah, ada pondoknya. Jadi itu seperti kemarin, yang terjadinya bencana ini, itu secara dilaksanakan meminta kepada penghuni atau penjaga kampung ini untuk menjaga tidak dikenakan penyakit Covid. (0:15:11.1) Tapi tidak selalu men-Tuhan, bahasa kami itu lah. Memang itu dari dulu itu, dari cerita kami nenek kami dulu itu bisa menjaga kampung ini. Sehingga tidak terjadi atau tidak kena bencana yang tidak diinginkan oleh warga kampung.

Aika: Karena tradisi ini penting untuk menjaga alam, maka anak-anak muda juga mesti paham soal itu.

Pulpis:

Masih sampai sekarang. Jadi itu masih ada juga yang tahu tentang cerita itu. Oh begini caranya, oh ini peralatannya. Taruh lah model katakan itu sesajennya begitu ya. Lalu itu ada namanya, ada nama penghuninya. Nama penghuni maksud saya orang halus tadi yang nggak bisa kelihatan, yang kita percayai. Ada. Itu sampai sekarang masih ada yang menjaganya.

Podcast Gambut Bakisah akan balik lagi dengan episode lain yang membuat kita lebih paham soal pentingnya gambut. Masukan atau saran, ditunggu ya. Silakan email ke [email protected] Sampai ketemu lagi!

  • gambut bakisah
  • kearifan lokal

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!