BERITA

Kelebihan Penghuni, Pemerintah Berencana Bebaskan Napi Pemakai Narkoba

Kelebihan Penghuni, Pemerintah Berencana Bebaskan Napi Pemakai Narkoba

KBR, Jakarta-   Pemerintah berencana mengurangi  beban penjara  dengan melepaskan pengguna narkoba dari tahanan. Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami mengatakan, pengguna narkoba itu dilepaskan untuk direhabilitasi dengan dibawa ke yayasan atau dikembalikan ke keluarganya.

Kata dia, rencana itu tengah digodok untuk segera direalisasikan.

"Sekarang sedang mempersiapkan aturan-aturan hukumnya dan assement sudah dilakukan oleh jajaran kami, berapa jumlahnya gitu khusus mereka yang betul-betul pengguna. Jadi tidak junto dengan misalnya pengedar dan seterusnya," kata Sri di Jakarta, Kamis (7/11/2019).


Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami menjelaskan, pengguna narkoba yang bisa dilepaskan harus memenuhi syarat di antaranya sudah melewati setengah masa tahanan, berkelakuan baik, serta mendapat rekomendasi penilaian dari lapas yang ditempatinya.


"Kalau untuk pengguna itu sekitar 50 ribuan. Tapi kita akan ngecek kembali, jangan sampai ada junto dengan pasal lainnya," ujarnya.


Sri menjelaskan bahwa terobosan ini merupakan salah satu langkah menyelesaikan kelebihan kapasitas di sejumlah rutan di Tanah Air. Ia menegaskan, langkah ini sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.


"Karena di Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 dimungkinkan untuk mereka pengguna itu  direhab. Nah ketika mereka masuk ke lapas rutan, ini tanggung jawab kita menjadi semakin besar," tambahnya. 

Hukuman Mati

Selama periode pertama pemerintahan Jokowi praktik hukuman mati di Indonesia meningkat tajam.  Demikian isi laporan Imparsial, lembaga masyarakat sipil independen yang bergerak di bidang pengawasan pelanggaran HAM.

"Selain eksekusi mati, pada periode ini juga terjadi peningkatan vonis mati yang dilakukan pengadilan di berbagai tingkatan, dengan sedikitnya 221 vonis mati baru," jelas Imparsial dalam rilis, Kamis (10/10/2019).

Menurut riset Imparsial, praktik eksekusi dan vonis mati di bawah rezim Jokowi jauh lebih tinggi dibanding era presiden-presiden sebelumnya.

Sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai Soesilo Bambang Yudhoyono (1998-2013), rata-rata ada 13 terdakwa yang divonis mati tiap tahunnya. Namun di era Presiden Jokowi (2014-2019), angka itu naik menjadi 44 vonis mati per tahun.

"Perbandingan vonis mati yang terjadi selama Reformasi naik di era pemerintahan Jokowi, dengan kenaikan sebesar 236,6 persen," ungkap Imparsial.

Menurut Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri, hukuman mati harusnya dihapuskan karena bertentangan dengan komitmen HAM dan konstitusi.

“Hak hidup itu, kalau dalam hak asasi manusia, itu kan non-reachable. Itu maksudnya dalam kondisi dan situasi apapun itu nggak bisa dicabut, termasuk ketika orang melakukan tindak pidana, sekalipun termasuk terorisme,” kata Ghufron.

“Hukuman mati bertentangan dengan jaminan konstitusional tentang hak hidup yang ditegaskan dalam UUD 1945,” tegasnya lagi.

Ghufron juga meminta pemerintah menghapus hukuman mati karena dinilai tidak efektif memberi efek jera.

“Dalam kasus narkoba misalnya, sejak eksekusi mati pelaku narkoba secara masif dilakukan oleh Kejaksaan Agung, angka kejahatan narkoba justru meningkat tajam. Ini diakui sendiri oleh BNN (Badan Narkotika Nasional). Itu secara objektif menunjukkan efek jera itu tidak ada,” katanya.

“Lima tahun ke depan ini harus jadi catatan serius. Jangan hanya fokus soal ekonomi infrastruktur. Soal reformasi hukum HAM ini harus jadi perhatian, karena ini banyak masalah kan,” tegas Ghufron. 

Editor: Rony Sitanggang

  • hukuman mati
  • Presiden Jokowi
  • narkoba

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!