BERITA

Kasus Meikarta, KPK Tahan Eks-Bos Lippo Cikarang

Kasus Meikarta, KPK Tahan Eks-Bos Lippo Cikarang

KBR, Bandung-  Bekas Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK, belakang Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Toto  berkeras   tidak pernah menyuap sebesar Rp 10,5 miliar kepada Neneng Hasanah selaku Bupati Kabupaten Bekasi seperti yang disampaikan Edi Dwi Soesianto.

Terkait hal itu, ia juga sudah melaporkan ke Polrestabes Bandung.

"Saya sudah difitnah dan dikorbankan. Dan untuk fitnah yang Edisus sampaikan, bahwa saya telah memberikan uang untuk IPPT (Izin Pengelolaan dan Pengolahan Tanah-red) sebesar Rp 10,5 miliar saya selalu bantah. Dan itu pun sekretaris saya, Melda juga sudah bantah. Dan saya sudah melaporkan (Edi) ke Polrestabes Bandung dan saat ini pihak polisi sudah menemukan bukti dugaan fitnah yang saya sampaikan itu ada buktinya," ucap Tito di Gedung Merah Putih KPK, Rabu,  (20/11/2019) malam dengan mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK.


Toto belum dapat memastikan apakah  kan mengajukan praperadilan. Ia beralasan hal teknis seperti itu diserahkannya kepada kuasa hukum.


Sebelumnya, KPK menduga Toto telah mengalirkan uang sebesar Rp10,5 miliar untuk bekas Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin yang saat ini telah ditetapkan sebagai terpidana. PT Lippo Cikarang harus memproses berbagai perizinan untuk membangun kawasan permukiman di wilayah Bekasi. Salah satunya ialah izin IPPT yang diajukan seluas 143 hektare.

Neneng pun menyetujui keputusan IPPT untuk pembangunan proyek permukiman Meikarta. Guna merealisasikan janjinya, Toto diduga memberi uang tersebut dalam lima tahap pemberian, dalam pecahan dolar Singapura dan pecahan rupiah.

Selain Toto, KPK juga menetapkan Sekda Jabar nonaktif Iwa Karniwa sebagai tersangka dalam kasus yang berbeda, yaitu dugaan suap terkait pembahasan substansi rancangan peraturan daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017. Peraturan itu diduga terkait dengan rencana pembangunan kawasan permukiman Meikarta di Kabupaten Bekasi. Perkara yang menjerat Iwa dan Toto merupakan perkembangan perkara dari OTT sebelumnya yang menjerat bekas Bupati Bekasi, Neneng Hasanah dan delapan orang lainnya. 

Dalam kasus ini Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Jawa Barat menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin. Hakim juga menghukum Neneng agar membayar denda Rp250 juta atau hukuman pengganti (subsider) empat bulan penjara.

Hakim menganggap Neneng terbukti menerima suap proyek perizinan proyek Meikarta bersama empat anak buahnya dari perwakilan Lippo Group.


Vonis hakim itu lebih rendah dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menginginkan hukuman 7,5 tahun penjara dan denda senilai Rp 250 juta subsider kurungan empat bulan penjara.


Ketua Majelis Hakim Tipikor Bandung Tardi mengatakan Neneng  terbukti bersalah secara dan meyakinkan, bersama-sama dan berkelanjutan melakukan tindak pidana korupsi. Neneng juga dikenai hukuman tambahan membayar uang pengganti kepada negara.


"Membayar uang pengganti pada negara sebesar Rp68.416.350. JIka terpidana tidak membayar uang pengganti, dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah berketetapan hukum tetap, maka harta benda dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut. Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara enam bulan," ujar Tardi saat membacakan amar putusan, Bandung, Rabu (29/5/2019).


Tardi mengatakan hukuman lainnya yang harus ditanggung oleh Neneng Hasanah Yasin, yaitu pencabutan hak pilih dalam pemilihan jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah menjalani pidana pokoknya.


Hakim menyebut sejumlah alasan yang memberatkan hukuman Neneng. Di antaranya Neneng dianggap tidak mendukung program pemerintah, sebagai pimpinan tidak memberikan contoh baik. Sedangkan faktor yang meringankan, Neneng mengakui perbuatannya, bersikap sopan dan terus terang di persidangan, menyesal, serta belum pernah dihukum.


Menghadapi putusan itu, Neneng Hasanah Yasin menyatakan pikir-pikir. Sikap yang sama juga diambil terpidana lainnya yaitu Kepala Dinas PUPR Jamaludin, bekas Kepala DPMPTSP Dewi Tisnawati, bekas Kadiskar Bekasi Sahat Maju Banjarnahor, dan bekas Kabid Tata Ruang PUPR Neneng Rahmi Nurlaili.


Keempat anak buah Neneng tersebut mendapat hukuman merata yaitu 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yang menuntut keempatnya hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.


Seluruh terdakwa dianggap terbukti melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji, yaitu para terdakwa telah menerima uang seluruhnya sejumlah Rp16,182 miliar dan SGD 270 ribu atau dengan total Rp 18 miliar.


Editor: Rony Sitanggang

  • Meikarta
  • KPK
  • Pengadilan Tipikor
  • vonis korupsi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!