BERITA

MK Kabulkan Uji Materi Adminduk, Ini Tanggapan Penganut Kepercayaan

""Putusan MK memberi ruang bagi penghayat kepercayaan mengenalkan identitasnya. Harapannya, ada kemudahan bagi mereka untuk menjalani proses administrasi," "

MK Kabulkan Uji Materi Adminduk, Ini Tanggapan Penganut Kepercayaan
Ilustrasi: Penganut Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. (Foto: KBR/Sasmito)

KBR, Bandung- Organisasi Penghayat Kepercayaan Budi Daya di Bandung, Jawa Barat  meminta pemerintah segera melakukan sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi para penghayat kepercayaan dalam dokumen administrasi kependudukan. Permintaan itu dilayangkan karena dalam memperoleh hak kesetaraan sebagai warga negara, harus diikuti pelaksanaannya oleh pemerintah daerah dalam hal ini adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Menurut pengurus organisasi Penghayat Kepercayaan Budi Daya, Asep Setia Pujanagara, sosialisasi putusan MK tersebut dianggap penting agar tidak terjadi kembali diskriminasi kepada kelompok penghayat kepercayaan.

"Dan yang lebih penting bagaimana dengan adanya aturan ini apakah reaksinya juga kan kita belum tahu apakah ini akan berjalan mulus juga kenyataannya di lapangan. Karena yang sudah-sudah dahulu saja, saya pernah menggugat urusan perkawinan tahun 2000 itu sampai tujuh tahun, saya juga mengalami hal itu. Jadi untuk urusan KTP juga mudah-mudahan lancar tidak ada masalah, tidak ada halangan di tengah perjalanan," kata Asep Setia Pujanagara kepada KBR, Bandung, Selasa, (07/07).

Asep Setia Pujanagara menyambut baik adanya kekuatan hukum bagi warga negara penganut penghayat kepercayaan. Asep mengaku putusan oleh MK ini merupakan kemenangan untuk keadilan dan kesetaraan untuk warga negara. Dia berharap nantinya kelompok muda organisasi penghayat tidak lagi dipermasalahkan, jika hendak bergabung ke instansi pemerintah seperti TNI dan Polri.

"Karena dalam kolom agama kami ada tanda negatif, maka tidak lulus dalam persyaratan administrasi," ujar Asep.

Baca: MK Kabulkan Uji Materi Penghayat Kepercayaan

Senada disampaikan tokoh agama Parmalim.  Tokoh Parmalim, Monang Naipospos, menyambut positif dan berharap langkah ini berlanjut dengan implementasi di instansi-instansi lain.

"Ya baguslah itu. Selama ini kan nggak boleh ditulis ada petunjuknya di situ. Entah peraturan Mendagri dulu, ditulis buka kurung garis tutup, dikosongkan kurang lebih seperti itu. Jadi itu bermasalah bagi instansi lain, mereka mana mengerti itu. Dulu bank yang menolak kalau (kolom agama) tidak diisi," kata Monang, Selasa (7/11).

Lanjutnya, lewat putusan itu, para penganut aliran kepercayaan mempunyai kesetaraan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama di Indonesia yang diakui dan memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. 

"Putusan MK memberi ruang bagi penghayat kepercayaan mengenalkan identitasnya. Harapannya, ada kemudahan bagi mereka untuk menjalani proses administrasi," tuturnya.

Monang menjelaskan, saat ini penghayat kepercayaan kesulitan dalam pengurusan administrasi terutama sistem online. Mereka tidak memiliki pilihan untuk mengisi kolom yang opsinya sudah tersedia. Saat pendaftaran masih manual, pada formulir masih tersedia pilihan “lain-lain” pada kolom “agama”. Menurutnya, jalan masih panjang untuk mencapai kesetaraan yang diimpikan.

"Keinginan kita kesetaraan dan persamaan hak untuk apapun kesempatan di Indonesia. Ini baru identitas di KTP dan mungkin administrasi lainnya. Anggaplah sekarang dapat ditulis di KTP, tapi belum bisa masuk polisi atau masuk tentara, karena di sana masih ada peraturan 6 agama. Jadi aplikasinya nanti yang penting. Bukan berarti kita senang-senang. Masih banyak lagi yang harus dilalui," jelas Monang.

Parmalim merupakan sebutan bagi penganut Ugamo Malim. Kepercayaan ini banyak dianut suku Batak Toba di Sumatera Utara.

"Khusus kami (Parmalim) saja ada sekitar 9.000 (penganut) di seluruh Indonesia. Jadi jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia cukup banyak, karena ada banyak kepercayaan lain," pungkas Monang.

RUU Perlindungan Umat

Juru bicara Kementerian Agama Mastuki menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi  yang menyatakan penghayat kepercayaan bisa menuliskan kepercayannya pada kolom agama di KTP akan mempermulus pembahasan Rancangan Undang-undang perlindungan Umat Beragama, yang kini masih mentok dalam menentukan definisi agama. Menurut Mastuki, dengan putusan MK tersebut, penganut kepercayaan bisa masuk dalam kelompok yang dilindungi, selain enam agama yang sebelumnya diakui.

Kata Mastuki, putusan MK itu juga berarti para penganut kepercayaan akan mendapat hak yang sama dengan para pemeluk enam agama di Indonesia.

"Kami mendapatkan bahan yang cukup kuat, untuk pembahasan yang lebih lanjut di Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama, karena salah satunya menyangkut tentang istilah agama. Konsekuensi perlindungan umat beragama kan salah satunya berkaitan dengan penghayat. Jadi kalau agama hanya didefinisikan enam agama, mereka tidak masuk dalam perlindungan umat beragama. Jadi kalau misalnya penodaan agama, kekerasan, diskriminasi, mereka tidak akan bisa dilindungi," kata Mastuki kepada KBR, Selasa (07/11/2017).

Mastuki mengatakan, selama ini pembahasan RUU Perlindungan Umat beragama selalu buntu saat membahas definisi agama. Kata dia, perdebatan biasanya seputar kelompok penganut kepercayaan, apakah bisa dimasukkan dalam umat yang dilindungi atau tidak. Sehingga, kata dia, putusan MK itu akan membuat pendefinisian agama dalam RUU akan lebih mulus.

Mastuki meyakini, pembahasan RUU Perlindungan Umat Beragama setelah pendefinisian agama, tak akan lagi rumit. Pasalnya, kata dia, beberapa pasal dalam RUU  yang menimbulkan perdebatan, biasanya menyangkut soal kelompok umat yang harus dilindungi. Dia pun menargetkan RUU Perlindungan Umat Beragama bisa masuk dalam program legislasi nasional tahun depan, sehingga bisa segera disahkan.

Editor: Rony Sitanggang

  • uji materi UU Adminduk
  • diskriminasi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!