NASIONAL

Dirjen Otda: 90 Persen Hasil Pilkada Langsung Digugat ke MK

Dirjen Otda: 90 Persen Hasil Pilkada Langsung Digugat ke MK

KBR68H, Jakarta – Sejak 2005, sudah digelar lebih dari 1.000 pemilukada langsung di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, dari 1.000-an pilkada tersebut, 90 persen hasilnya digugat ke Mahkamah Konstitusi. Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, ada kecenderung para peserta pilkada langsung tidak siap untuk kalah.

Padahal, hampir di semua pilkada para peserta menandatangai deklarasi damai serta siap menerima kekalahan. Menurut dia, mengguggat hasil pilkada Mahkamah Konstitusi sebenarnya hak dari peserta pilkada. Namun, terkadang gugatan tersebut terkesan sangat dipaksakan.

“Dari informasi yang saya dapat, banyak peserta pilkada itu yang menyiapkan dana untuk ikut pilkada termasuk untuk tahap menggugat ke MK. Jadi, sebelum mereka ikut serta sudah berpikir untuk menggugat kalau kalah. Kalau selisih suaranya tipis seperti di Kota Palembang itu sebenarnya tidak terlalu masalah, tetapi kalau selisihnya besar kan itu jadinya aneh,”kata Djohermansyah dalam program Daerah Bicara KBR68H.

Menurut Djohermansyah, pilkada langsung juga kerap menimbulkan kerusuhan yang mengganggu jalannya pemerintahan di daerah tersebut. Kerusuhan itu juga menelan korban jiwa. Dari catatan Ditjen Otda, 37 orang tewas akibat kerusuhan pada pemilukada langsung dan ratusan orang mengalami luka-luka.

Karena itu, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pilkada langsung hanya digelar untuk pemilihan Gubernur. Itu tercantum dalam RUU Pilkada yang tengah dibahas di DPR. Pemilihan Wali Kota dan Bupati nantinya akan kembali dilakukan oleh DPRD. Untuk menghindari terjadinya politik uang, pemilihan Wali Kota atau Bupati akan dilakukan secara terbuka.

  • pilkada langsung
  • digugat ke MK
  • dirjen otda

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!