Komunitas Senyum Puan terbentuk sejak Juli 2020, berbasis di Mataram, NTB, dengan misi mendorong kesetaraan gender. (Foto: dok Senyum Puan).

NASIONAL

Sumbangsih Anak Muda NTB untuk Kesetaraan Gender

"Komunitas Senyum Puan dibentuk atas kegelisahan pribadi Ade Lativa Fitri menyaksikan banyak kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan."

Selasa 25 Okt 2022, 10.40 WIB

KBR, Jakarta - Kesetaraan gender masih jadi problem nyata di banyak area, tak terkecuali di perguruan tinggi.

Ade Lativa Fitri, pendiri komunitas Senyum Puan, pernah mengalami diskriminasi gender sewaktu terpilih sebagai ketua di sebuah organisasi mahasiswa di kampusnya, Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Perempuan yang akrab disapa Adel ini ditolak oleh sebagian mahasiswa, terutama laki-laki, hanya karena ia perempuan.

“Mereka bilang, karena perempuan itu lebih emosional daripada laki-laki. Jadi program kerja, kebijakan, dan keputusan yang aku buat sangat berpotensi jadi kayak, ya hanya berdasarkan emosiku saja. Dan itu bakalan bisa bikin organisasi chaos, padahal sampai akhir, aku ga bikin organisasi hancur,” kata Adel dalam wawancara virtual.

Adel tercatat sebagai perempuan pertama yang memimpin lembaga itu. Ia terpilih dengan cara demokratis. Namun, suara penolakan terus terdengar sepanjang setahun kepemimpinannya.

“Bahkan ketika aku sudah ga menjabatpun, itu keras sekali gaungan dari beberapa pihak yang tidak akan membiarkan presiden organisasi selanjutnya itu perempuan. Ibaratnya Adel adalah kegagalan pertama dan terakhir,” imbuh perempuan kelahiran Mataram, 29 November 1997 ini.

Peristiwa ini membuka mata Adel tentang problem kesetaraan gender. Apalagi kala itu di kampusnya juga tengah mencuat kasus kekerasan seksual.

Kegelisahan yang bertumpuk berubah menjadi motivasi untuk ikut berkontribusi mengurai masalah.

“Kekerasan seksual oleh dosen terhadap mahasiswa, dan itu memang besar sekali beritanya. Jadi di situ sih puncak yang akhirnya, oke kita bikin (gerakan),” ujar dia.

Baca juga: Radio Nina Bayan, Inovasi Perempuan Lombok Utara di Tengah Pandemi

Ade Lativa Fitri, juga rajin mengangkat kesetaraan gender tiap mengikuti kontes kecantikan seperti Putri Indonesia, Putri Pariwisata dan Putri Mandalika. (Foto: dok pribadi).

Adel memantapkan hati membentuk komunitas yang diberi nama Senyum Puan pada Juli 2020. Pengurusnya kini mencapai 18 orang.

“Dari kata perempuan, aku ambil ‘puan’-nya. Tapi apa sih yang kita harapkan, apa yang pengin kita ubah dari puan ini? Jadi ya aku menamakan Senyum Puan dengan harapan, bisa membawa nasib perempuan menjadi lebih baik, supaya perempuan bisa tersenyumlah,” tutur Adel.

Senyum Puan ingin mengedukasi anak-anak muda agar melek kesetaraan gender. Media sosial seperti Instagram dimanfaatkan sebagai sarananya.

“Yang paling bagus untuk mengedukasi itu pasti sesama, sulit untuk teman-teman yang senior untuk bisa nge-reach out anak-anak muda dengan gaya bahasa, pergaulan yang sekarang, apalagi untuk mengedukasi,” ucap Putri Indonesia NTB Intelegensia 2020 dan Putri Pariwisata Nusantara Intelegensia 2021 ini.

Selama pandemi, Senyum Puan aktif memfasilitasi diskusi, pelatihan hingga konsultasi psikologi secara daring. Pesertanya bisa mencapai ratusan orang dari berbagai wilayah di NTB.

“Kita belajar nulis konten, ada kelas yang sampai sekarang masih jalan, Kelas Puan. Itu bahas apapun soal perempuan dan ada Kamis Kasih, untuk sharing, melatih empati sama critical thinking. Dan kita buka sih dari awal, hotline Ruang Aman bantu siapapun yang butuh konseling,” jelas mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Mataram ini.

Sejak pandemi mulai mereda, Senyum Puan mulai turun ke lapangan. Dibantu 20 relawan, mereka melakukan pendampingan di tiga daerah, yakni Dasan Cermen, Pagutan Timur dan Lingsar.

Hoda adalah salah satu relawan angkatan pertama. Pekerja lepas berusia 24 tahun ini memandang Senyum Puan bisa mewadahi keinginannya untuk belajar sekaligus melakukan aksi nyata untuk kesetaraan gender. Hoda prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan seksual di sekitarnya.

“Biasanya catcalling yang saya alami. Terus sama ini, saya kan tidak memakai hijab, karena lingkungan saya berhijab semua, jadi orang melihat saya tuh kayak, wah perempuan yang tidak sopan dengan pakaiannya,” keluh Hoda.

Baca juga: 

Sanetan Desa Panutan Cegah Perkawinan Anak (Bagian 1)

Sanetan Desa Panutan Cegah Perkawinan Anak (Bagian 2)

Senyum Puan mengedukasi kesetaraan gender di kalangan muda, misalnya di sekolah dan kampus. (Foto: dok Senyum Puan).

Selama terjun ke lapangan, Adel mendapati masalah perkawinan anak masih jadi problem besar di NTB.

Adel sendiri pernah berupaya mencegah satu kasus kawin anak di Pagutan Timur, tetapi gagal.

“Bahkan pemerintah kelurahanpun ga punya daya untuk memisahkan. Perih sekali rasanya dan saya ikut proses mereka untuk berunding, berdiskusi dsb. Jadi saya kecewa sekali sih. Dan itu baru satu, masih ada kasus-kasus lainnya,” ungkap Adel.

Senyum Puan kini memilih fokus pada pemberdayaan korban kawin anak, terutama soal kemandirian ekonomi.

“Orang-orang yang sudah telanjur menikah di usia anak itu kan banyak sekali tantangannya, salah satunya di ekonomi. Makanya angka janda di Lombok lumayan tinggi, karena perceraiannya juga akibat kesiapan ekonomi rendah. Jadi kita bantu lewat pelatihan agar mereka bisa berusaha sendiri,” lanjutnya.

Rupanya sepak terjang Adel tak cuma mengundang apresiasi, tetapi juga caci maki. Ia beberapa kali mendapat protes soal aktivitas Senyum Puan, baik lewat pesan di media sosial maupuan ketemu langsung.

“Tiba-tiba dia datang, kayak menceramahiku, tidak sesuai dengan aku sebagai seorang muslim dll. Sampai aku dibilang 'kamu mendingan pilih, mau jadi Islam beneran atau mau jadi libertarian,” Adel bercerita.

“Banyak juga yang, ‘ngapain sih kamu bikin Senyum Puan, kalau emang mau bikin tuh sana di tempat yang banyak terjadi kekerasan, kalau di sini kan ga ada,” lanjut dia.

Beragam reaksi negatif itu tak membuat langkah Adel surut.

“Justru ngerasa, oh berarti berguna nih gerakanku, masih relevan, ya di provinsiku isinya orang-orang seperti ini. Justru kayak jadi motivasi,” tegas Adel.

Baca juga: Bahas Kawin Anak, KBR Luncurkan Serial Podcast "Disclose"

Sejak terbentuk, Senyum Puan membuka Ruang Aman untuk membantu korban kekerasan seksual memulihkan diri dari trauma. (Foto: dok Senyum Puan).

Senyum Puan makin giat berkolaborasi dengan berbagai lembaga, baik sipil maupun pemerintah. Mereka berinisiatif mendirikan pusat data kekerasan seksual di kampus.

“Di fakultasnya harus ada, jadi setidaknya di Lombok dulu. Mereka bisa punya pos pengaduan, data-data dari merekalah yang masuk satu pintu ke kami. Jadi itu akan masuk ke data center kami, yang bisa diakses publik,” tutur dia.

Ke depan, Senyum Puan juga ingin mendirikan Rumah Aman bagi korban kekerasan seksual. Fokusnya tak berhenti pada pemulihan tetapi juga dukungan agar korban bisa berdaya.

“Bukan hanya soal traumanya, tapi kan juga untuk mereka bisa kembali percaya diri, ataupun kembali produktif. Itu jangka panjangnya kan perlu dipikirkan juga,” pungkas Adel.

Penulis: Ninik Yuniati