NASIONAL

Kasus Ginjal Akut dan Potensi Maladministrasi Peredaran Obat

"“Kelihatannya Badan POM gagal melakukan pengawasan secara maksimal di tengah masyarakat dan mereka bergerak hanya setelah muncul kejadian.""

ginjal akut
Pekerja menata obat di salah satu apotek di Kota Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (25/10/2022). (Foto: ANTARA/Anis Efizudin)

KBR, Jakarta - Kasus ginjal akut pada anak terus bertambah. Kementerian Kesehatan mencatat jumlah orang yang terkena penyakit ini mencapai lebih dari 250 orang, yang sebagian besar anak-anak. Lebih dari 50 persen pasien tidak bisa diselamatkan.

Lonjakan kasus penyakit ginjal akut yang belum diketahui penyebabnya ini akhirnya direspon Presiden Joko Widodo. Awal pekan ini, ia mengumpulkan sejumlah menteri dan pejabat di Istana Bogor Jawa Barat.

“Jangan menganggap ini masalah kecil. Ini adalah masalah besar. Lakukan ini secara terbuka, transparan, tapi juga hati-hati dan objektif,” kata Jokowi, Senin (24/10/2022).

Dalam rapat tersebut, Jokowi memberikan sejumlah instruksi terkait penanganan kasus ginjal akut yang sebenarnya sudah teridentifikasi sejak awal tahun.

Salah satunya Jokowi meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik dan menghentikan peredaran obat sirop yang terbukti mengandung bahan penyebab penyakit ginjal akut.

"BPOM segera tarik dan hentikan peredaran obat sirop yang betul-betul secara evidence based, betul-betul terbukti mengandung bahan obat penyebab gangguan ginjal tersebut," ucap Jokowi.

BPOM mengakui tidak mengecek satu per satu obat dari zat kontaminan atau pencemar yang ada dalam produk obat. BPOM berjanji akan meningkatkan pengawasan kepada obat-obatan yang diduga mengandung bahan penyebab ginjal akut.

Kepala BPOM Penny Lukito menjelaskan, pengawasan itu meliputi pengawasan sebelum dan sesudah peredaran obat. Tapi, Penny juga menekankan beberapa ketentuan kepada industri produsen obat sirop.

"Mengharuskan industri farmasi lebih melakukan sendiri, menganalisa memastikan quality control-nya lebih ditingkatkan dan kami akan mengawasi juga pengawasan di post market dari produk tersebut tentunya dengan berbasiskan risiko tapi tetap ada. Sehingga ini memberikan keyakinan bahwa industri di dalam premarket nya akan taat terhadap aturan yang ada," kata Penny Lukito dalam konferensi pers, Minggu (23/10/2022).

Penny Lukito juga mengingatkan, bila produsen mengubah bahan baku atau membeli dari sumber lain, maka perusahaan Farmasi tersebut harus melakukan uji mandiri dan mendaftarkannya lagi ke BPOM.

Baca juga:

Potensi Maladministrasi

Berdasarkan pasal 4 Peraturan Presiden tentang BPOM, setidaknya ada tiga kewenangan lembaga pengawas obat itu. Di antaranya kewenangan menerbitkan izin edar produk obat; melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat; serta memberi sanksi administratif.

Sayangnya, kerja pengawasan BPOM dinilai buruk. Lembaga Ombudsman RI memaparkan lima potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM terkait kasus penyakit ginjal akut.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyebut, potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM khususnya pada sisi pengawasan. Misalnya, proses sebelum obat diedarkan dan setelah obat beredar.

"BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi. Dengan mekanisme uji mandiri, seolah-olah kepada perusahaan itu diberikan kewenangan negara untuk melakukan pengujian tanpa kontrol yang kuat dari BPOM. Kami temukan mekanismenya itu justru adalah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi dan baru kemudian mereka melaporkan ke BPOM, jadi BPOM ini terkesan pasif," ujar Robert dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Selasa (25/10/2022).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng juga menemukan fakta, adanya kesenjangan antara standarisasi yang diatur BPOM dengan implementasinya di lapangan. Contohnya, penggunaan senyawa produk yang melampaui batas sehingga beracun dan mengakibatkan penyakit ginjal akut mematikan.

BPOM juga dinilai tidak maksimal memverifikasi produk sebelum penerbitan izin edar. Bahkan sesudah obat diedarkan pun, penerbitan izin juga tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan.

Sorotan yang sama juga disampaikan Komisi bidang Kesehatan DPR. Anggota Komisi Kesehatan DPR, Saleh Partaonan Daulay menilai BPOM gagal mengawasi peredaran obat yang mengandung etilen dan dietilen glikol.

“Kelihatannya Badan POM itu gagal untuk melakukan pengawasan secara maksimal di tengah masyarakat dan mereka bergerak hanya setelah muncul kejadian seperti ini dinyatakan 241 orang yang terpapar kemudian ada 131 yang meninggal dan tidak selamat. baru kemudian mereka bergerak. pertanyaannya selama ini mereka melakukan pengawasan seperti apa?,” kata Saleh kepada KBR, Senin (24/10/2022).

Anggota Komisi Kesehatan DPR, Saleh Partaonan Daulay juga menyebut BPOM terlambat melakukan pengujian di laboratorium. Padahal BPOM berwenang menguji kelaikan obat yang beredar di masyarakat.

"Kalau itu diduga yang menyebabkan munculnya penyakit seperti ini dan itu menurut saya harus dibuktikan secara ilmiah dan akademik. Itu tidak bisa hanya berdasarkan asumsi saja karena ini sudah ada korban," katanya.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • BPOM
  • gangguan ginjal akut
  • ginjal akut
  • AKI
  • Ombudsman

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!