NASIONAL

Bencana Hidrometereologi dan Lemahnya Sistem Peringatan Dini

"Banyaknya korban jiwa dalam kejadian bencana sepekan terakhir rata-rata disebabkan tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang rendah, utamanya di daerah yang sebelumnya bukan daerah rawan bencana."

Siti Sadida Hafsyah

Bencana Hidrometereologi dan Lemahnya Sistem Peringatan Dini
Warga melintas di rumah yang sempat terendam banjir bandang di Desa Tegal Cangkring, Jembrana, Bali, Kamis (20/10/2022). (Foto: ANTARA/Budi Candra)

KBR, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menetapkan status siaga terhadap potensi bencana hidrometeorologi banjir hingga tanah longsor, di beberapa daerah.

Prakirawan BMKG Efa Septiani mengatakan, pekan ini status siaga ditetapkan untuk wilayah wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.

"Kami menghimbau bagi sobat BMKG yang berada di sekitaran wilayah-wilayah tersebut agar tetap berhati-hati dan juga waspada dan juga terus pantau informasi cuaca maupun peringatan dini cuaca yang selalu kami perbaharui," kata Efa dalam keterangan di YouTube BMKG, Rabu (19/10/2022).

Potensi bencana hidrometeorologi berkaitan erat dengan berlangsungnya cuaca ekstrem di suatu wilayah. Untuk memperkuat sistem peringatan dininya, BMKG mengklaim sudah menjalin kerjasama dengan satelit meteorologi Amerika Serikat NOAA untuk mengobservasi, menganalisis, dan meningkatkan akurasi informasi cuaca di tanah air.

Sayangnya, bencana hidrometereologi di Indonesia kerap kali tak bisa ditangani dengan baik meski sudah ada peringatan cuaca dari BMKG.

Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan selama periode 10 hingga 16 Oktober 2022, jumlah kejadian bencana mencapai rekor terbanyak yaitu 76 kejadian. Kejadian bencana itu tersebar di 21 provinsi dan 56 kabupaten/kota, yang memaksa sekitar 70 ribu jiwa mengungsi.

"Di minggu lalu tanggal 3 sampai 9 Oktober kita mencatat ada 10 korban jiwa, dan ini menjadi evaluasi penting kita, sehingga kita benar-benar mengimbau BPBD provinsi, kabupaten/kota untuk siaga 1. Akan tetapi kita minggu ini berduka kembali masih ada 13 saudara kita yang menjadi korban. Ini kita harapkan mungkin di minggu depan minggu ini tidak terjadi lagi," kata Abdul Muhari dalam Disaster Briefing, Senin (17/10/2022).

Baca juga:

Tingkat kesiapsiagaan rendah

Abdul Muhari menjelaskan, masih banyaknya korban jiwa dalam kejadian bencana sepekan terakhir rata-rata disebabkan oleh tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang rendah, utamanya di daerah yang sebelumnya bukan daerah rawan bencana.

Padahal Abdul Muhari sudah berulang kali memberikan arahannya kepada perangkat daerah untuk memperkuat kesiapsiagaannya menghadapi cuaca ekstrem di Indonesia.

“Nah nanti mohon kepada BPBD, unsur komandan TNI Polri juga memberikan penjelasan, penekanan kepada masyarakat, itu ada empat poin. Di antaranya yang pertama adalah menyiapkan jalur dan tempat evakuasi berbasis keluarga. Kemudian masyarakat di sekitar lereng dataran rendah, jika terjadi hujan lebih dari satu jam, kemudian jarak pandang 50 cm tidak terlihat, itu sudah merupakan tanda-tanda akan terjadinya banjir bandang atau air dari hulu menuju hilir. Segera keluar dari rumah, cari tempat, medan yang lebih tinggi,” tegasnya dalam Rapat Koordinasi Nasional BNPB-BPBD Untuk Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Cuaca Ekstrim (12/10/2022).

Akhir September lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) memberikan catatan soal penanggulangan bencana di Indonesia.

Menurut Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman, Febrityas permasalahan lapangan pada tahap pra bencana misalnya, dirasakan ketika BPBD kurang bersinergi dengan pemangku kepentingan terkait dan kurang berinteraksi dengan masyarakat.

“Terkait dengan pola koordniasi, ada masih banyak permasalahan sinergitas antara BPBD dengan stakeholder terkait, dengan dinas terkait di daerah, Kemudian juga koordinasi BPBD dengan masyarakat mengenai bagaimana kesiapsiagaan bencana. Tidak hanya kemudian bagaimana kita kemudian melakukan sosialisasi, memberikan pesan terkait bagaimana mitigasi terhadap bencana. Namun kita juga perlu pastikan bagaimana respon masyarakat, bagaimana hal yang dilakukan masyarakat ketika kemudian edukasi atau sosialisasi itu kita sampaikan,” kata Febrityas dalam laporan hasil kajian bencana, Kamis (29/9/2022).

Baca juga:

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri menyebut sistem peringatan dini bencana di Indonesia masih banyak yang harus dibenahi.

"Di satu sisi memang kita sudah ada kemampuan dari institusi terkait untuk mendeteksi atau memprediksi akan terjadinya misalnya kemungkinan terjadi peningkatan hujan atau ancaman bencana lainnya, tapi masalahnya itu belum sampai ke masyarakat informasi itu.Sehingga mereka tidak bisa melakukan tindakan preventif atau kesiapsiagaan," ucap Avrianto kepada KBR, Jumat, (7/10/2022).

Di daerah rawan bencana, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak seluruh elemen masyarakat lebih peka terhadap sistem peringatan dini bencana alam yang telah disampaikan oleh pemerintah.

“Apakah early warning system-nya? Baik yang sifatnya peralatan modern maupun yang sifatnya kearifan lokal? Mesti dari sekarang didorong terus menerus. Sehingga begitu itu bisa kita cegah insya Allah tidak ada korban. Kadang-kadang bencananya tidak bisa kita hindarkan. Tapi selamatkan dulu korbannya.Yang kedua setelah terjadi, maka respon cepat yang perlu didorong,” ucap Ganjar pada awak media, dikutip dari Antara (15/10/2022).

Editor: Agus Luqman

  • sistem peringatan dini
  • early warning system
  • bencana
  • bencana hidrometeorologi
  • antisipasi bencana

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!