BERITA

Penanganan Kasus HAM Berat selama Pemerintahan Jokowi

Era Jokowi Penanganan HAM Lemah, Penyelesain Kasus Jalan di Tempat

KBR, Jakarta- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, terus mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus tragedi 1965. Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung menilai, selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu justru melemah dan cenderung jalan di tempat.

"Jadi pertanyaan saya ada ketakutan apa? ada kekuatan politik apa? Sehingga Jokowi tidak pernah membuka peristiwa 65 secara direct. Saya dengan ini sangat kecewa karena janji Jokowi yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran berat secara bermartabat dan berkeadilan ternyata itu hanya janji kosong," kata Bedjo kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis (21/10/2021).

Pengadilan HAM Ad Hoc

Bedjo mengungkapkan, pada 2019 para korban sempat mendatangi Kejaksaan Agung untuk menyerahkan daftar dugaan kuburan masal. Itu dilakukan guna memperkuat bukti yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usulan DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Namun, dalam 2 tahun terakhir Kejaksaan Agung tidak pernah berkomunikasi dengan para korban tentang perkembangan kasus.

Bahkan kata dia, Jokowi sebagai kepala negara, hingga kini tidak pernah secara terbuka bertemu dan berbicara kepada para korban.

"Kemudian dengan Menko Polhukam saya sudah kirim surat untuk bisa bertemu berdialog untuk diselesaikan, juga belum ada. Kami korban 65 siap berdialog apa maunya korban," kata Bedjo.

Bedjo berharap di sisa masa jabatan Presiden Jokowi kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65/66 dapat diselesaikan. Menurutnya, pemerintah dan kejaksaan cukup menjalankan rekomendasi Komnas HAM untuk membentuk pengadilan ad hoc.

"Negara mau tidak mau harus menyelesaikan secara yudisial supaya para korban ada kepastian hukum dan mendapat hak-haknya," katanya.

Kejelasan Sikap

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong pemerintah segera menentukan sikap dan kebijakan dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebab menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, selama ini penyelesaian kasus-kasus tersebut kerap berakhir tarik ulur antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Beka menyebut, rencana pemerintah yang akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus HAM berat masa lalu lewat jalur non-yudisial juga belum sepenuhnya rampung.

"Artinya secara konsep sudah jadi dan nama-nama yang akan mengisi gitu, katanya juga sudah mulai di-list begitu lah. Kami masih menunggu apakah memang ini dalam waktu dekat ini dikeluarkan menjadi kebijakan atau masih ada tarik ulur lagi," kata Beka kepada KBR melalui sambungan telepon, Kamis (21/10/2021).

Beka Ulung Hapsara menambahkan, Komnas HAM tidak masuk ke dalam struktural tim tersebut. Kata dia, Komnas HAM hanya memberikan masukan kepada pemerintah jika dibutuhkan. Sebab tugas Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus masa lalu sudah selesai, sesuai amanat undang-undang.

"Secara kelembagaan dalam pengertian, tidak (masuk ke tim). Komnas HAM kan secara undang-undang sudah selesai. Kami sudah melakukan penyelidikan, laporannya juga sudah final. Sekarang diserahkan kepada pemerintah, mau penyelesaiannya yudisial atau non-yudisial, ya kami serahkan kepada pemerintah," jelasnya.

Tarik Ulur

Penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat hingga kini belum juga menemui titik terang. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku, terus terjadi tarik ulur antara lembaganya dan Kejaksaan Agung, soal upaya penyelesaian belasan pelanggaran HAM berat itu.

Kata dia, belum ada langkah konkret dari Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti kesepakatan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Padahal kata dia, Komnas HAM sudah beberapa kali bertemu perwakilan pemerintah, salah satunya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat

12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu yakni penembakan misterius 1982 hingga 1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2 pada 1998 hingga 1999.

Kemudian kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997 hingga 1998, peristiwa 1965 hingga 1966, kasus pembunuhan dukun santet 1999, peristiwa Wasior Wamena 2002 dan 2003.

Lalu, peristiwa Paniai 2004, dan peristiwa di Aceh seperti Simpang KAA pada 1998, peristiwa Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, dan Jambo Keupok pada 2003.

Klaim Pemerintah

Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin mengklaim tak pernah berhenti mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM. Dalam laporan capaian kinerja 2 tahun Jokowi-Maruf yang dirilis Kantor Staf Presiden (KSP), pemerintah mengklaim mengupayakan penyelesaian kasus secara bermartabat.

Pemerintah ingin menuntaskan pelanggaran HAM tanpa mengabaikan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, serta budaya.

KBR sudah mencoba menghubungi Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Namun, keduanya belum merespons permintaan wawancara dari KBR.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Pelanggaran HAM berat masa lalu
  • Komnas HAM
  • HAM
  • Kejaksaan Agung
  • Kemenko Polhukam
  • DPR
  • Pengadilan HAM Ad Hoc
  • YPKP 65
  • 7 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!