KBR, Jakarta- Amnesty Internasional Indonesia menyebut aksi polisi membanting pendemo di Kabupaten Tangerang, tak bisa selesai hanya dengan permintaan maaf. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan membanting peserta aksi damai merupakan penggunaan kekerasan yang berlebihan.
"Pihak berwenang harus segera menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak. Dengan bukti-bukti hasil investigasi itulah, pelaku harus diadili di pengadilan umum yang adil dan terbuka bagi masyarakat," kata Usman dalam keterangannya, Kamis, (14/10/2021).
Usman mengaku khawatir praktik kekerasan seperti ini akan terus berulang jika hanya selesai dengan minta maaf atau sanksi administratif.
"Jika Polri ingin dilihat masyarakat sebagai institusi humanis, maka pelaku harus melalui proses hukum yang adil, dan langkah-langkah nyata harus diambil untuk mencegah kejadian serupa," pungkasnya.
Dia menyebut, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian bukan kali pertama terjadi. Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat juga terjadi selama rangkaian demonstrasi tolak Omnibus Law pada Oktober 2020. Amnesty mencatat ada setidaknya 402 dugaan kasus kekerasan polisi di 15 provinsi.
Pengakuan Korban
Sementara itu, korban kekerasan aparat, MFA, mengaku tak bisa melupakan perlakuan yang diterimanya dari salah satu polisi. Tindakan kekerasan oleh anggota polisi berinisial NP itu ia terima saat berdemo di Tangerang, Banten, Rabu (13/10). MFA mendesak Polri menindak tegas polisi yang menjadi pelaku tindakan kekerasan kepada mahasiswa.
"Untuk lupa terhadap kejadian tersebut tentu saya tidak akan lupa. Saya berharap pihak kepolisian terkait untuk melakukan penindakan yang tegas terhadap oknum polisi yang melakukan aksi represifitas terhadap mahasiswa," kata MFA dalam konferensi pers, Rabu, (13/10/2021).
Editor: Dwi Reinjani