BERITA

Merunut Sejarah Gambut

"Indonesia adalah negara kedua di dunia dengan lahan gambut terluas, setelah Brasil. Dari lahan itulah tersimpan 30% karbon dunia."

Menanam pohon di lahan gambut
Ilustrasi: Menanam pohon di lahan gambut

Kondisi lahan gambut kita kritis. Ini bukan kondisi yang tiba-tiba, karena ada sejarah panjang di belakangnya. Sejarah juga mencatat, masyarakat adat maupun pendatang rela berhadapan dengan penguasa untuk melindungi lahan gambut – tanah leluhur mereka. Episode ini akan mengulik sejarah gambut, ritual adat sampai tatanan kebijakan pemerintah.

Aika: Halo, kita bertemu lagi di Podcast Gambut Bakisah, sebuah podcast yang mengajak kita belajar, kenal dan lebih akrab lagi dengan gambut. Kerjasama KBR dengan Kemitraan. Saya Aika Renata.

Asrul: Dan saya Asrul Dwi.

Asrul: Kalau kita bicara gambut, yang terbayang jangan-jangan langsung ke soal kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera ya. Padahal yang harusnya lebih diingat adalah sebelum kebakaran itu terjadi. Yaitu karbon yang disimpan di dalam lahan gambut. Karbon itu kalau tetap disimpan berarti kita ikut melindungi ekosistem gambut serta menahan laju perubahan iklim.

Aika: Karena kebakaran hutan itu kan justru melepas karbon yang mestinya disimpan baik-baik itu ke udara ya.

Asrul: Tahu nggak sih, kalau karbon di dalam lahan gambut itu terlepas ke udara (karena kebakaran hutan itu), setara dengan emisi yang dihasilkan 33 miliar mobil selama setahun. Bayangin: 33 miliar mobil!

Aika: Dan yang lebih mengenaskan lagi, gambut itu kan terbentuk sudah lamaaaaa banget, sejak 9600 sebelum Masehi. Terbentuk dari sisa-sisa pohon, rumput, lumut dan jasad hewan yang membusuk. Mereka semua itu menumpuk ribuan tahun, membentuk endapan yang tebal. Dan pffff…. Hilang lah itu semua maha karya ribuan tahun karena kebakaran hutan.

Asrul: Merusak itu gampang. Mengembalikan jadi benar lagi, nah itu yang susaaaaah dan lamaaa banget. Nggak bisa sekejap gitu.

Asrul: Contohnya di Kalimantan Tengah. Ini salah satu provinsi yang lahan gambutnya paling rusak nih sekarang. Padahal dulu, masyarakat dan gambut hidup berdampingan, tanpa merusak. Antropolog Universitas Palangkaraya, Sidik Uso bilang, ya jelas saja lahan gambut nggak dirusak… kan itu kehidupan mereka.

Sidik: “Kalau gambut yang dulu itu adalah gambut yang memang masih di dalam kaitannya dengan hutan. Jadi gambut yang masih hutan, masih asri. Ketika gambut itu dalam kondisi yang asli, maka kita akan bicara pada waktu itu ekosistem pada gambut itu sendiri. (0:05:32.6) Saat itu, masyarakat lokal itu dia merasa bagian dari sebuah ekosistem tadi. Jadi mereka tidak merusak lingkungan, mereka memelihara lingkungan itu tadi. Karena lingkungan alam itu cukup untuk memberikan kehidupan bagi mereka”

Aika: Nah trus, tadinya hidup akur, kok sekarang malah Kalimantan Tengah jadi yang paling rusak lahan gambutnya?

Asrul: Ingat PLG? Proyek Lahan Gambut 1 Juta Hektar di masa Orde Baru? Naahh itu dia pangkal mulanya…

Sidik: “Nah dengan terbukanya lahan satu juta hektar, itu akan mengganggu sistem kehidupan masyarakat tadi. Di mana mereka tadinya bagian dari sistem lingkungan tadi, bagian dari lingkungan. Artinya begini, kalau lingkungan itu rusak, terganggu. Maka kehidupan mereka terganggu juga. Dia bagian dari lingkungan. Ketika pembukaan lahan satu juta hektar, itu mereka tidak melihat bahwa kebijakan-kebijakan itu bagian daripada sistem. Dia bagian dari luar sistem. Sehingga seenaknya saja mereka memperlakukan lingkungan alam atau sistem gambut itu sendiri. Nah ini persoalan yang kita hadapi”

Sidik: “Karena gambut itu sangat terikat dengan air, maka dengan pembukaan kanal-kanal yang ada, ini akan merusak keseimbangan gambut itu sendiri. Pada musim kering dia kekeringan dan sangat rentan terbakar. Dan pada musim hujan dia bisa mengalami banjir. Karena pembentukan kanal itu memang dibuat sehingga tidak sesuai dengan kanal yang dibuatnya itu”

Aika: Baiklah… nggak boleh kekeringan, tapi nggak bisa juga kebanjiran…

Asrul: Itu baru bicara soal si lahan gambutnya. Yang jadi bagian dari ekosistem gambut kan ya manusia yang kehilangan pekerjaan kalau lahan gambut hilang…

Sidik: “Jadi sekarang itu banyak mata pencaharian yang hilang, yang tergantung dengan hutan, yang tergantung dengan perairan sebagai fungsi penangkapan ikan, dan juga berkaitan dengan produksi rotan itu ya untuk kondisi sekarang ini. Sehingga pertanian yang ada di sana itu yang dengan satu juta hektar itu, itu sendiri mengalami kegagalan juga. Kenapa? Karena ada kalau fungsi lahannya, lahan tadi di lahan pertanian, itu mereka bisa dengan teknologi. Tetapi ketika mikroorganisme yang ada itu hilang, maka di situ padinya bagus, berapa hamparan bagus sekali sudah mulai berbuah. Tetapi besoknya itu langsung habis dimakan oleh tikus. Ternyata tikus kehilangan sumber makanannya, itu lah yang dimakan oleh tikus. Ini pengalaman di daerah lahan satu juta hektar itu”

Aika: Setelah ketahuan muncul masalah, langsung semua sibuk membenahi. Padahal itu bisa dicegah dengan perencanaan yang baik misalnya. Kalau gambut misalnya dengan melibatkan masyarakat untuk berdialog. Tentu saja dialog beneran yaa bukan formalitas -_-

Asrul: Betul, ketika kita bicara tentang kerusakan lingkungan, maka itu tidak sekedar membicarakan kerusakan lingkungan, tapi kita bicara tentang peradaban. Bagaimana rendahnya peradaban kita memperlakukan alam semesta tadi, lingkungan tadi. Antropolog Universitas Palangkaraya Sidik Uso juga bilang, penting banget melibatkan manusia di sekitar gambut sebagai bagian dari sistem.

Sidik: “Di situ juga ada nilai-nilai adat yang terkait dengan lingkungan alam tadi. Sehingga semakin banyak upacara-upacara adat dilakukan, maka sebetulnya di situlah bentuk pelestarian-pelestarian dari nilai-nilai budaya lokal tadi. nah tetapi disini juga tidak dipahami bahwa bahwa upacara adat itu bagian dari pelestarian nilai-nilai budaya”

Aika: Kalau dari masyarakat, bagaimana sebenarnya memandang hubungan dengan alam ya? Kan kalau kita di kota sudah banyak lupa bahwa bumi rusak. Biasanya ingat kalau sudah ada bencana.

Asrul: Biasanya begitu. Nah masyarakat yang hidup di sekitar wilayah gambut paham sekali soal hubungan antara alam, manusia dan sang pencipta. Mereka menerapkan itu sebagai bentuk penghormatan pada alam.

Sidik: “Budaya lokalnya itu dengan dengan simbol mungkin bisa melihat itu simbol batang garing itu ya. Batang garing itu adalah simbol keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dengan manusia dan sang pencipta. Kemudian dari simbol keseimbangan itu diturunkan lagi menjadi etika yang disebut dengan belombah adat. Jadi hidup beradab. dalam hidup beradap tadi lah, di situ fungsi bagaimana kita memperlakukan, memanfaatkan dan memperlakukan alam semesta tadi”

Sidik: “Di situ juga dikaitkan dengan apa yang disebut dengan menyanggar, upacara adat penyangga sana. Ketika kita ingin membuka lahan, misalnya untuk pertanian atau apa saja gitu ya, maka itu harus meminta izin dulu. Meminta izin dulu kepada roh leluhur penghuni kawasan itu. Kalau kita tidak melakukan itu maka kita terkena pali, terkena pantangan gitu ya. dan pantangannya itu bahwa itu akan mengganggu kehidupan orang, mengganggu kehidupan masyarakat bahkan kampung mereka itu akan mengalami bencana. pikir masyarakat”

Asrul: Nah menyanggar itu bentuk kehati-hatian, Aika. Hati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan lahan. Sehingga orang tidak semena-mena memperlakukan alam. Itu konsep menyanggar, dan selalu dilakukan. Tetapi sebenarnya menyanggar sudah kehilangan makna. Kenapa? Karena konsep itu tidak diadaptasi oleh pengambil kebijakan

Sidik: “Para pengambil kebijakan pun tidak pernah mendapatkan informasi yang cukup tentang meyanggar itu ya. Itu kaitannya dengan simbol batang garing tadi. Keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam tadi itu. Kemudian dengan menyanggar itu ada yang namanya mamapas Lewu. Kalau orang Jawa kan membersihkan kampung katanya, tetapi mamapas Lewu itu bukan sekedar itu. Jadi memapas lewu tuh dilakukan setiap tahun. Itu masyarakat memaknai itu sebagai mensucikan kembali, mensucikan kembali lingkungan alam tadi”

Aika: I see, aduh jadinya kemana-mana ya. Tapi bukannya pengolahan lahan gambut itu juga bisa mendatangkan keuntungan dari segi ekonomi bagi warga? Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, pengolahan lahan gambut katanya bisa membantu mengatasi krisis pangan.

Asrul: Tentu saja, tapi dengan catatan. Pengelolaannya harus tepat dan menggunakan teknologi pertanian agar tak merusak ekosistem dan lahan gambut. Sayangnya, menurut Sidik Uso, itu belum jadi fokus pemerintah saat ini.

Sidik: “Jadi persoalan kita itu kan para pemimpin kita itu kan lebih banyak mengejar pertumbuhan ekonomi. Jadi seolah-olah kehidupan kita itu kehidupan ekonomi. Kalteng itu memang pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 7-8 persen pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi kerusakan lingkungan juga tinggi juga. Seandainya kita mampu menghitung berapa kerusakan lingkungan tadi, maka sebetulnya kerusakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak bermakna. Sama sekali tidak bermakna. Sampai sekarang kita tidak mampu untuk memulihkan kelestarian sumber daya alam yang ada di Kalteng tadi. Tidak mungkin bisa mengembalikannya”.

Sidik: “Di masyarakat lokal itu ya itu kita kenal dengan ingat peta tatuhiang Ingat pesan leluhur, sumber daya alam untuk generasi yang akan datang. Nah itu kan itu bahwa kita perlu ketika kita mengelola dan memanfaatkan lingkungan, itu perlu keberlangsungan sumber daya menjadi bagian penting. sustainability menjadi bagian penting gitu ya untuk generasi yang akan datang. tapi bagaimana faktanya itu tadi? karena kita setiap pergantian Gubernur, itu yang dikejar selalu pertumbuhan ekonomi. jadi seolah-olah ketika kita berhasil dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, itu bagian dari suatu hal yang keberhasilan gitu ya. Dan saya selalu menentang itu. saya di mana-mana menentang itu”

Asrul: Kalau di soal pandemi Covid-19 kita dengar tentang ekonomi versus kesehatan, maka di soal gambut ini jadinya ekonomi versus lingkungan. Padahal kan nggak mestinya versus atau milih salah satu ya..

Sidik: “Pertumbuhan ekonomi oke. tetapi coba pertimbangkan dengan kelestarian lingkungan tadi. Itu yang selalu saya katakan. jadi tidak musti dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, itu akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat. apalagi kemakmuran itu juga hanya dinikmati oleh sekelompok orang-orang tertentu”

Aika: Iya juga ya, tapi belakangan pemerintah memang gencar mengoptimalkan lahan gambut kan? Presiden Joko Widodo saja ada rencana cetak sawah lagi di lahan gambut.

Asrul: Nah soal itu kita harus ketemu Ibu Suraya Afif, Antropolog UI yang secara khusus melakukan penelitian di Kalimantan Tengah untuk melihat bagaimana pengolahan lahan gambut dari waktu ke waktu, termasuk saat proyek lahan 1 juta hektar zaman Soeharto dinyatakan gagal. Satu hal yang menjadi catatannya adalah tentang bagaimana salah mispersepsi tentang lahan gambut yang dianggap “nggak berguna”.

Suraya: “Perspektif orang terhadap lahan gambut itu adalah bahwa, ini satu daerah yang kelihatannya waste ya, sia-sia begitu ya. Oleh sebab itu banyak upaya untuk mengubah menjadi produktif. 07:53- Jadi kan mundur sedikit ke belakang. Waktu Presiden Soeharto mencanangkan satu proyek konversi lahan gambut di Kalimantan Tengah. Jadi Presiden Soeharto itu mengatakan “Nggak, ini tidak akan merusak keanekaragaman hayati blablabla.” Itu ada move-nya ya yang mengatakan nggak akan ya”

Tapi kan waktu jaman Soeharto agak susah ya mengorganisir masyarakat yang juga tidak sepakat. Karena wilayah itu antara lain juga selain sumber ikan, juga sumber rotan. Wilayah Kalimantan Tengah yang dibuka itu dulunya, banyak kebun-kebun rotan rakyat dan menjadi pusat dari antara lain ya tidak hanya ikan tapi juga rotan, produksi rotan

Tapi kan kemudian nggak ada yang bisa lawan. Ini dikomplain, dibuat amdal-nya ya performa tidak serius. PU langsung membuka, akibat membuka itu kemudian ya terjadi sebenarnya kayu yang menjadi sasaran banyak orang ya. Dibuat lah ya tersier, dibuat segala macam. Jadi kerusakan itu dari mulai 1995.

Tiba lah 1997 krismon (krisis moneter). Krisis dimulai finansial baru kemudian politik. Nah jadi, tapi selama dua tahun itu sudah banyak kerusakan. Walaupun pada 1998, atau 1997 mulai ketika Soeharto lengser, Habibie gantikan. Langsung sebenarnya oleh Habibie, proyek itu dihentikan. Tetapi kerusakannya sudah nggak bisa dicegah. Akibat dari situ adalah kemudian pembakaran.

Aika: Jadi gambut tenang-tenang aja, trus dibuka, terus terjadi segala macam kerusakan ya. Macam buka kotak Pandora saja ini…

Sidik: Semua orang melihat ini ada wilayah yang luar biasa, ada air, ada hutan yang luar biasa, kok nggak dimanfaatkan. Masyarakat memang secara teknis memang susah kan dimanfaatkan oleh rakyat juga. Kalau dimanfaatkan ya pasti dengan memanfaatkan misalnya pasang surutnya, atau ikan yang ada disana. Sehingga dilihat tanda petik kurang produktif.

Aika: Apa nggak ada tim peneliti atau risetnya dulu ya untuk memastikan pembukaan lahan gambut itu betulan tidak akan bikin masalah?

Sidik: Nah sama halnya ketika kemudian ada persoalan pangan yang di jaman Soeharto. Kemudian mulai juga dilihat ini bagus nggak? Karena persoalannya dianggap dengan banyak air, wah ini gampang nih diubah jadi sawah gitu.

Itu interest untuk memanfaatkan gambut ya. Nah sejak itu lah dipikirkan wah kita bagaimana nih? Gampang kan, airnya sudah ada, tinggal dibangun irigasi. Dipikirnya begitu, dipikirnya langsung kemudian bisa diubah menjadi persawahan. Rata-rata gambut dibuka ya menjadi racun dan segala macam. Itu terjadi di semua tempat...

Asrul: Nah setelah gagal itulah aika, Kemitraan masuk. Tepatnya saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat. Mungkin karena saat pembentukan kemitraan pada 2003 silam, SBY adalah salah satu pendiri. Jadi pendekatannya lebih mudah.

Sidik: Jadi dari mulai 1998, itu sebenarnya dari Habibie, itu sudah mencanangkan wah ini di-stop dan harus direhabilitasi. Tapi tidak pernah ada yang serius melakukan rehabilitasi ini. Baru sampai kira-kira pada jaman SBY ya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agak-agak serius.

Nah di situ Kemitraan kan dulu memang SBY adalah salah satu pendiri ya Kemitraan. Nah jadi link-lah, harmonis lah dari interestnya SBY untuk merehabilitasi. Tetapi waktu Kemitraan masuk sebenarnya banyak juga mereka tidak paham dengan persoalan tumpang tindih, kesejarahan pengelolaan, siapa saja aktor yang ada di sana.

Nah, Indonesia lewat Presiden SBY itu committed. Jadi ada interest kepada itu. Nah mulai lah ada gagasan bagaimana kalau salah satunya adalah wilayah di Kalteng ini, dijadikan salah satu target itu tadi mengurangi emisi

Dari situ lah mulai keluar gagasan termasuk memperkuat. Apa komparasinya? Jadi sebenarnya pada waktu jamannya SBY itu, memang ada banyak infrastruktur. Tapi ada satu hal yang pada masa itu yang walaupun sudah diusahakan, KPK sampai masuk. KPK itu melakukan kajian juga loh di Kalteng.

Tapi jadi persoalan sebenarnya sudah clear. Hanya masalahnya bagaimana kemudian mengimplementasikan apa yang sebenarnya sudah diketahui pemerintah. Karena ini berbenturan dengan kepentingan swasta. Nah di situ lah mandeknya sebenarnya. Nah itu yang dilanjutkan masa Presiden Jokowi, dengan memilih ibu Siti Nurbaya. Jadi ibu Siti masuk dengan berbagai hal. Salah satu yang paling diperhatikan oleh KLHK itu adalah bagaimana kemudian menegakan aturan. Jadi yang dilakukan ibu Siti ya aturan harus tegak, termasuk kepada swasta. Di jaman SBY itu lah yang paling susah, itu menegakan aturan kepada swasta.

Aika: Susah menegakkan aturan dengan swasta. Problem negara kita banget ya. Sementara sama warga yang tinggal di sana… belum tentu diajak dialog. Yang jadi korban: gambut.

Asrul: Yaps. Kalau kepentingan rakyat seolah bisa di-pending dulu. Kongkalingkong pemerintah daerah dengan perusahaan swasta di bawah tangan jadi sesuatu yang disorot Suraya Afif, Antropolog UI.

Suraya: Jadi pemerintah, swasta, bukannya membela rakyatnya kadang-kadang. Tapi membela perusahaan. Di Kalteng itu banyak perusahaan yang tidak punya.. Apa.. Bahkan melanggar aturan Pemda sendiri. Saya datang ke satu kabupaten di Kalimantan Tengah, yang masyarakatnya dia bilang begini. Ya udah lah kalau memang ada kebun sawit ya bagaimana ya. Tapi ada dong yang untuk kita. Itu nggak ada plasmanya. Dan didiamkan bertahun-tahun oleh Pemdanya.

Aika: Jadi kalau kita belajar dari sejarah Proyek Lahan Gambut 1 Juta Hektar, itu… banyak ruginya gitu ya. Sementara Mei lalu pemerintah sudah menetapkan Kalimantan Tengah akan jadi salah satu lokasi untuk cetak sawah. Lagi-lagi dengan alasan mengamankan stok kebutuhan pangan.

Pertanyaannya: bagaimana supaya itu tidak terjadi lagi?

Asrul: Libatkan masyarakat. Seperti yang disebut di awal, juga temuan dari antropolog itu, pelibatan masyarakat itu jangan formalitas doang. Ini artinya benar-benar melibatkan ya… dalam setiap proses. Bagaimana pun, itu tanah mereka, peradaban mereka… hidup mereka. Dan di situ ada simpanan 30% karbon dunia lhooooo.

Suraya: Masyarakat itu sangat terbuka dengan peluang, kalau itu mereka menjadi bagian daripada program. Yang intinya begini. Kalau mereka melihat itu ada manfaat, ya mereka akan ikut. Yakin saya. Tapi jangan sekedar mereka dijadikan hanya pekerja yang dibayar murah. Itu kebiasaan swasta dan segala macam kan.

Tapi kalau mereka diberikan, oke ini ada sawah, ada beberapa lahan sawah yang nggak bisa terus karena masalah air, lalu mereka diperbaiki irigasinya, didampingi, kemudian sehingga itu bermanfaat. Ya, mereka akan ikut. Tapi sekali lagi, itu selalu saya ingatkan. Jangan jadikan mereka pekerja, dibayar murah pula lagi.

Aika: Garis bawah ya pak, Jangan jadikan mereka pekerja, dibayar murah pula lagi.

Podcast Gambut Bakisah akan balik lagi dengan episode lain yang membuat kita lebih paham soal pentingnya gambut. Masukan atau saran, ditunggu ya. Silakan email ke [email protected] Sampai ketemu lagi!

  • gambut bakisah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!