KBR, Jakarta- Presiden Joko Widodo menyindir prinsip kerja Perum Perhutani dan PT Perkebunan Nasional dalam kerja sama pengelolaan perhutanan sosial, yang merugikan petani kecil. Jokowi bahkan menyebut Perhutani bekerja seperti zaman penjajahan atau kolonial.
Hal itu Jokowi katakan saat menerima puluhan petani perhutanan sosial di Istana Negara. Jokowi lantas berjanji menyelesaikan konflik pengelolaan perhutanan sosial antara petani dengan Perhutani dan PTPN dalam dua tahun.
"Di bawah juga ada birokrasi kita, Perhutani, ada yang bisa menerima, ada yang tidak bisa menerima. Karena terganggu dengan program ini. Tidak, ini sudah zamannya kayak begini. Jangan sampai lagunya masih lagu lama. Dirutnya mungkin tidak, tapi di bawahnya diselesaikan. Jangan sampai Perhutani masa lebih kolonial dari kolonial. Saya merasakan kok," kata Jokowi di Istana Negara, Kamis (10/10/2019).
Jokowi mengatakan, sudah mendengar banyak keluhan petani soal perlakuan Perhutani dan PTPN. Jokowi menyebut, konflik antara petani dengan Perhutani dan PTPN yang ia catat mencapai 528 kasus.
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi juga mendengar keluhan petani kayu putih dari Boyolali, Suwarji. Suwarji bersama 600 kepala keluarga di Boyolali mengelola 433 hektare lahan perhutanan sosial untuk ditanami kayu putih, dan membuat perjanjian kerja sama pengelolaan dengan Perhutani.
Dalam perjanjian tersebut, keuntungan dari panen daun kayu putih dibagi 80 persen untuk Perhutani, dan sisa 20 persen untuk petani. Suwarji meminta Jokowi membalik pembagian keuntungan tersebut menjadi 80 persen untuk petani, dan sisanya untuk Perhutani.
Jokowi meminta waktu untuk membicarakan keinginan tersebut dengan direksi Perhutani.
Hutan Adat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kebut penetapan 6,53 juta hektar hutan yang diajukan sebagai hutan adat.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, 472 ribu hektar hutan masuk dalam peta indikatif hutan adat, untuk kemudian
diproses menjadi hutan adat. Siti menargetkan penetapan semua area hutan
adat rampung dalam lima tahun.
"Supaya jangan
terganggu-ganggu lagi oleh kepentingan yang lain, supaya masyarakat merasa aman, sambil menunggu proses di pemerintah daerah dan DPRD
berlangsung, maka secara bertahap wilayah indikatif akan menjadi
hutan adat," kata
Siti di kantor staf kepresidenan, Rabu (12/6/2019).
KLHK
mencatat, area hutan yang ditetapkan sebagai hutan adat seluas 22,8 ribu
hektar lahan, sebaran lahan berada di 34 titik. Sedangkan angka 6,53 juta
hektar tersebut, menurut Siti, merupakan usulan dari Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif (JKPP), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),
dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman).
Siti menambahkan, Usulan awal koalisi lingkungan hidup ada 9,3 juta
hektar hutan yang diusulkan sebagai hutan adat. Namun, setelah
dicocokkan dengan data peta kawasan hutan, angkanya mengerucut menjadi
6,53 juta hektar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto menambahkan syarat pengajuan wilayah sebagai hutan adat
harus memiliki dokumen hukum, berupa peraturan daerah atau surat
keputusan bupati/walikota.
Menanggapi rencana penetapan 6,53 juta hektar hutan yang diajukan sebagai hutan adat, Ketua Tim AdHoc Politik Walhi, Khalisah Khalid menegaskan langkah untuk melindungi masyarakat adat harus dibarengi dengan penundaan pemberian izin (moratorium) hutan alam primer dan lahan gambut.
"Sebagai sebuah komitmen untuk pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat, menurut kami angka tersebut kami apresiasi sebagai langkah baik dari pemerintah untuk terus mendorong pengakuan dan perlindungan terhadap hutan adat dan hak-hak masyarakat adat," kata Khalisah kepada KBR (12/6/19).
Editor: Rony Sitanggang