BERITA

Meski Patuh, Industri Mengeluh Penghentian Mendadak Ekspor Bijih Nikel

"CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus tak mengira kesepakatan ini menjadi topik agenda rapat BPKM dengan pengusaha nikel. "

Sadida Hafsyah

Meski Patuh, Industri Mengeluh Penghentian Mendadak Ekspor Bijih Nikel
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan soal penghentian ekspor bijih nikel di kantor BKPM, Jakarta, Senin (28/10/2019). (Foto: KBR/Sadida Hafsyah)

KBR, Jakarta - Pelaku industri smelter nikel menilai kesepakatan penghentian ekspor bijih nikel per 29 Oktober 2019 terjadi secara mendadak.

CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus tak mengira kesepakatan ini menjadi topik agenda rapat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bersama pengusaha nikel Indonesia pada Senin (28/10/2019). Pertemuan itu membahas industri smelter di Indonesia.


Meski begitu, Alex Barus mengatakan tunduk pada arahan pemerintah sejauh tak merugikan industrinya.


Ia menegaskan perusahaannya siap menyerap bijih nikel dalam negeri sesuai kapasitasnya.


"Kami punya tambang 47 ribu hektar. Kami bisa suplai sekarang kurang lebih empat sampai lima juta (metrik ton). Berarti kita butuh dari luar 20. Katakanlah ini stockpile kita. Stockpile kita, kapasitas kita kan terbatas. Saya tidak tahu di lapangan stockpile sudah penuh apa belum. Kami membeli tentu yang pertama harus sesuai dengan ketersediaan stockpile. Kalau nggak sesuai, mau ditaruh di mana? Yang kedua spesifikasinya cocok, yang ketiga harga cocok. Jadi saya kira itu variabel yang mesti kita ikuti," kata Alex usai konferensi pers di kantor BKPM Indonesia, Senin (28/10/2019).


CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus menjelaskan perusahaanya memiliki empat smelter yang memerlukan sekitar 25 juta metrik ton ore.

Empat smelter yang mampu menyerap bijih nikel dalam negeri ke depan di antaranya smelter PT SMI, PT GCNS, PT ITSS, dan PT ICS.

Alex berharap komitmen ini berdampak positif bagi kemajuan industri pengolahan nikel. Karenanya PT IMIP siap mengawal pelaksanaan kesepakatan menghentikan ekspor bijih nikel lebih awal dari ketentuan resmi pemerintah.


Sebelumnya pemerintah hendak melarang secara total, ekspor dari bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang.


Hal ini disampaikan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).


Namun ternyata rencana itu dipercepat menjadi 29 Oktober 2019.

Berdasarkan komitmen

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut tidak akan menerbitkan peraturan sebagai payung hukum yang baru mengenai hal ini.

Bahlil mengatakan aturannya cukup dengan komitmen antar pemerintah yaitu BKPM dan Kemenko Kemaritiman, serta pelaku industri smelter nikel, termasuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).


"Ini lahir atas dasar pemikiran yang sangat bijak, atas dasar kajian mendalam, di mana kita semua cinta negara. Kita sayang negara ini. Kita ingin negara ini berdaulat. Untuk mengelola hasil-hasil buminya, untuk bisa memberikan nilai tambah. Perdebatan-perdebatan tadi plus minus, tapi kita mampu melokalisir. Kita mampu menetralisir dan fokus," kata Bahlil usai rapat bersama pengusaha nikel Indonesia di kantor BKPM Jakarta, Senin (28/10/2019).


Bahlil Lahadalia mengatakan pelaku industri smelter nikel berkomitmen untuk membeli bijih nikel dalam negeri dengan penyesuaian harga ekspor ke Cina. Sehingga menurutnya, pelaku ekspor tidak dirugikan dengan komitmen ini.


"Ore yang sudah ada sampai dengan bulan Desember akan dibeli oleh saudara-saudara kami, sahabat-sahabat kami pengusaha yang sudah mempunyai smelter. Dengan harga, tetap harga internasional di Tiongkok, dikurangi dengan pajak dan biaya transhipment. Di dalam proses tersebut, surveyor yang akan ditunjuk untuk menentukan kadarnya dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli," ujarnya.


Bahlil menambahkan nantinya sistem pembayaran akan dilakukan mandiri antara para pembeli dan penjual. Akan tetapi pemerintah siap menjadi mediator jika dibutuhkan.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyebut dengan teknologi yang mumpuni, Indonesia mampu memproses dan mengolah nikel kadar rendah. Bijih nikel berkadar rendah (di bawah 1,7 persen) mengandung kobalt dan lithium yang merupakan salah satu bahan baku pembuatan baterai.

Apalagi, dengan keluarnya Peraturan Presiden tentang Peraturan Presiden No. 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, maka kebutuhan baterei untuk mobil listrik akan menjadi lebih tinggi.

Editor: Agus Luqman 

  • ekspor bijih nikel
  • bijih nikel
  • BKPM
  • Kementerian ESDM
  • smelter

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!