BERITA

PP 'Hadiah' bagi Pelapor Korupsi, Pukat UGM: Ini Bukan Barang Baru

""Tapi menurut saya ini juga bukan satu hal yang revolusioner di dalam upaya memberantas korupsi," ungkap peneliti Pukat UGM, Zaenur."

Aika Renata

PP 'Hadiah' bagi Pelapor Korupsi, Pukat UGM: Ini Bukan Barang Baru
Ilustrasi: Stiker saat memperingati hari antikorupsi. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Ibarat sayembara, pemerintah menjanjikan 'imbalan' atau hadiah bagi siapapun yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Jaminan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Sebetulnya hal serupa sudah dilakukan pada 2000, hanya saja besaran imbalan tak ditetapkan pasti.

Sedangkan kini pemerintah mengaturnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP ini menyebutkan bahwa pelapor ataupun masyarakat yang memberikan informasi ke penegak hukum soal dugaan korupsi bakal beroleh penghargaan dalam bentuk piagam. Selain itu juga dapat premi maksimal Rp200 juta.

Peraturan sudah diteken Presiden Joko Widodo serta diundangkan Kementerian Hukum dan HAM per 18 September 2018. Aturan ini menggantikan PP Nomor 71 Tahun 2000.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman menyambut positif PP tersebut. Kendati begitu ia menganggap tak ada terobosan dalam atutan anyar tersebut.

"Ini bukan barang baru. Sudah ada PP Nomor 71 tahun 2000 mengatur hal yang sama. Tetapi memang ada beberapa hal yang diatur berbeda dan beberapa kelebihan di PP yang baru ini. Penyebutan jumlah pemberian (premi) sebanyak Rp200 juta yang jumlahnya justru lebih kecil daripada yang PP tahun 2000 itu," kata Zaenur ketika dihubungi KBR, Selasa (9/10/2018). 

"Kalau di PP tahun 2000 itu tidak disebutkan nilainya, hanya dua permil dari total kerugian negara yang berhasil dipulihkan. Kedua, pemberian penghargaan kepada masyarakat yang secara aktif melakukan upaya-upaya pencegahan korupsi," tambah Zaenur.

Tapi, apakah besaran 'imbalan' itu ampuh menarik peran masyarakat untuk aktif melaporkan dugaan korupsi? Sayangnya, menurut Zaenur masih terlalu dini untuk mengukurnya.

"Memperbarui semangat sih iya, dan juga memang ada tentang memberikan saran dan masukan kepada penegak hukum dalam penuntasan perkara. Tapi menurut saya ini juga bukan satu hal yang revolusioner di dalam upaya memberantas korupsi."

Lantas bagaimana tata cara pelaporan?

Menurut PP 43 tahun 2018 masyarakat bisa memberikan informasi mengenai dugaan korupsi ke pejabat yang berwenang pada badan publik atau penegak hukum. Pelaporan itu bisa tertulis ataupun lisan, baik melalui media elektronik maupun nonelektronik.

Laporan mengenai dugaan korupsi harus memuat identitas pelapor dan uraian mengenai fakta dari indikasi korupsi yang ditemukan. Selain itu, pelapor juga wajib melampirkan fotokopi KTP atau identitas diri lain serta dokumen atau keterangan terkait tindak pidana korupsi yang dilaporkan.

Nantinya, pelapor juga berhak mengajukan pertanyaan ke penegak hukum mengenai tindak lanjut laporannya. Selain itu, pelapor juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Zaenur pun mengusulkan, guna meningkatkan akuntabilitas, pelaporan dugaan korupsi itu dilakukan saling silang lintas-penegak hukum.

"Kepada masyarakat dan para pegiat antikorupsi ya mungkin pelaporannya harus secara silang. Kalau misalnya pelakunya kemungkinan polisi ya laporkan ke KPK. Kalau pelakunya kemungkinan KPK, laporkan kepada polisi atau jaksa," tutup Zaenur.



Editor: Nurika Manan

  • #korupsi
  • #pukatugm
  • #pp

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!