BERITA

Kasus GBPK Pasar Minggu, Wali Kota Jakarta Selatan Dapat 'Mosi Tidak Percaya'

" Setara Institute menilai Pemerintah Kota Jakarta Selatan tidak bisa mampu menjamin hak warga terkait pendirian rumah ibadah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu. "

Kasus GBPK Pasar Minggu, Wali Kota Jakarta Selatan Dapat 'Mosi Tidak Percaya'
Spanduk penolakan terhadap pendirian GBKP Pasar Minggu. (Foto: Ade Irmansyah/KBR)



KBR, Jakarta - Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi mendapat 'mosi tidak percaya' dari lembaga demokrasi dan perdamaian Setara Institut dan dari pengurus Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu. Ketidakpercayaan itu terkait berlarut-larutnya konflik pendirian GBKP Pasar Minggu, meski sudah ada instruksi Gubernur DKI Jakarta pada proses mediasi pada 3 Oktober lalu.

Setara Institute menilai Pemerintah Kota Jakarta Selatan tidak bisa mampu menjamin hak warga terkait pendirian rumah ibadah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu.


Wakil Keta Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi gampang ditekan kelompok intoleran agar tidak mengabulkan permintaan izin pendirian rumah ibadah GBKP serta melarang kegiatan beribadah di kantor Kecamatan Pasar Minggu.


Baca: Menteri Agama Minta Pemda DKI Carikan Lokasi Alternatif GBKP Pasar Minggu

Bonar Tigor Naipospos mengatakan pemerintah kota Jakarta Selatan terlihat tidak serius menyelesaikan pendirian rumah ibadah. Ia mencontohkan, pengurus gereja GBKP mengajukan izin pendirian rumah ibadah, namun yang diberikan ternyata izin pendirian rumah kantor atau rukan.


Selain itu, pemerintah Kota Jakarta Selatan menutup akses atau menghalangi kantor Kecamatan Pasar Minggu untuk dijadikan kegiatan ibadah jemaat GBKP Pasar Minggu. Padahal pekan-pekan lalu, pemerintah Kota Jaksel sudah memberi izin untuk menggunakan area kantor kecamatan untuk peribadatan sementara.


"Seharusnya Pemerintah Kota Jakarta Selatan mampu meyakinkan warga (sekitar) agar warga yang menolak itu mau memberikan persetujuan izin pendirian rumah ibadah. Karena biasanya saya yakin ada sebagian warga yang sesungguhnya tidak menolak. Tetapi yang biasa berteriak adalah warga dalam jumlah kecil dan didukung warga dari luar daerah tersebut,"  kata Bonar Tigor Naipospos kepada KBR, Minggu (23/10/2016).


Baca: Kegiatan Ibadah Masih Sulit, FKUB DKI Akan Ambil Alih Kasus GBKP Pasar Minggu

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menambahkan ketidakmampuan Pemerintah Kota Jakarta Selatan menangani masalah pendirian rumah ibadah juga terlihat dari pengambilalihan masalah ini dari tingkat kota ke tingkat provinsi.


Ia berharap, setelah kasus itu nanti diambil alih di tingkat provinsi kebuntuan-kebuntuan proses perizinan bisa cair dan izin rumah ibadah GBKP bisa cepat keluar.


"Mudah-mudahan FKUB Provinsi Jakarta bisa melihat masalah ini dengan jernih dan pikiran terbuka sehingga mampu mencari solusi pendirian rumah ibadah. Padahal rumah ibadah ini sudah cukup lama didirikan. Seharusnya tidak ada masalah kalau tidak ada ulah dari kelompok intoleran," kata Bonar Tigor.


Ia berharap pemerintah Jakarta Selatan bisa bersikap lebih tegas dan tidak tunduk pada tekanan kelompok yang mempersulit pendirian rumah ibadah.


Apalagi, kata Bonar, Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sudah memberikan arahan yang jelas agar dicarikan penyelesaiannya.


"Ini kembali kepada negara, apakah mereka mampu berbuat adil dan obyektif tidak khawatir ditekan kelompok tertentu," katanya.


Gelar Perkara

Sementara itu Pendeta GBKP Runggun Pasar Minggu, Penrad Siagian mengatakan dari gelar perkara yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi, keberadaan GBPK Pasar Minggu sudah berdiri sejak 1995 dan layak mendapat izin rumah ibadah.


"Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 itu, pasal 28 ayat 3, rumah ibadah yang sudah berdiri sebelum PBM berlaku, itu mewajibkan pemerintah untuk menerbitkan surat izin rumah ibadah. Kita berpegang pada mediasi dan aturan itu. Jadi kita akan tetap pada proses itu, kita tetap akan beribadah di sini (Kecamatan), sampai penerbitan izin rumah ibadah itu keluar, seperti instruksi Gubernur kepada Wali Kota. Cuma belum ada respon sampai saat ini," kata Penard kepada KBR, Minggu (23/10/2016).


Penrad mengatakan berdasarkan instruksi yang jelas dari Gubernur untuk menyelesaikan perizinan, Wali Kota Jakarta Selatan dianggap tidak melakukan fasilitasi yang selayaknya. Justru, Wali Kota merelokasi tempat ibadah GBKP ke tempat lain.


"Dengan alasan 'tidak kondusif' dan lain-lain. Ini kan tidak benar. Beliau tidak bisa mengabdi, memutuskan kebijakan berdasarkan penolakan sekelompok orang. Dia harus berdiri di atas konstitusi, beliau diangkat menjadi pejabat publik untuk mengabdi pada konstitusi, bukan pada kelompok orang yang intoleran yang tidak ingin bangsa ini berdiri di atas ke-Bhinneka-an," kata Penard Siagian.


"Kita tidak percaya (pada Wali Kota) sejak tanggal 3 Oktober, mediasi yang dilakukan Gubernur terhadap langkah-langkah yang diambil Wali Kota," kata Penrad.


Tanggapan Wali Kota

Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi membenarkan ada penolakan dari warga saat jemaat beribadah di lokasi lama maupun saat jemaat beribadah di kantor Kecamatan. Hal inilah ujar Tri yang menjadi alasan lain ibadah dipindahkan.


Karena itu ia memerintahkan kegiatan ibadah dipindahkan ke aula GOR Balai Rakyat Pasar Minggu yang jaraknya hanya 50 meter dari kantor kecamatan.


Baca: Alasan Wali Kota Pindahkan Tempat Ibadah Jemaat GBKP Pasar Minggu

Editor: Agus Luqman 

  • GBKP Pasar Minggu
  • Jakarta Selatan
  • FKUB
  • Setara Institute
  • kelompok intoleran

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!