“Seorang lelaki meletakkan segumpal nasi di tangannya, kemudian ia merebahkan diri di lantai, memejamkan matanya. Seekor anak tikus [curut] tergiur dengan apa yang terlihat pada tangan lelaki itu, dan tentu saja mulai berhasrat untuk memperkecil jaraknya dengan tangan sang lelaki. Pada saat moncong kecil itu menerkam segumpal nasi, tangan sang lelaki yang tadinya terbuka lebar spontan mengepal untuk kemudian memasukkan tikus yang malang itu ke dalam mulutnya. Lelaki itu harus melakukannya entah karena lapar atau untuk mendapatkan asupan makanan yang sangat terbatas di tempat ia dan teman-teman senasibnya bertahan hidup.”
Itulah salah satu cerita dari Penjara Salemba, ‘rumah’ bagi Putu Oka Sukanta selama sepuluh tahun. Deklamatir terbaik Bali tahun 1958 ini dipenjara dengan tuduhan terlibat G30S. Ia adalah salah satu seniman lapisan paling luar Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang sudah berpolitik lewat puisi-puisinya sebelum menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh Lekra.
“Saya agak keberatan kalau dibilang saya berpolitik sesudah saya di Lekra. Tidak. Saya berpolitik sejak saya menulis,” ujar ahli akupunktur yang ikut langsung merobohkan Tembok Berlin ini.
Pemenang ke II Lomba Dongeng Lingkungan Hidup di Jakarta (1982) ini adalah seorang anak petani yang memiliki keberpihakan kepada orang-orang miskin di Bali bahkan sebelum mengenal apa itu Lekra.
“Orang miskin itu adalah komunitas saya. Ketimpangan-ketimpangan perempuan di Bali adalah komunitas saya. Jadi dengan sendirinya tulisan-tulisan saya itu merefleksikan kehidupan komunitas yang paling dekat dengan saya,” katanya.
“Misalnya bagaimana posisi petani kaya dan bagaimana dan bagaimana posisi gadis-gadis penuai padi yang hidupnya tidak berkecukupan. Jadi untuk menuai padi dia harus minta izin kepada yang punya, dia dapat bagian yang kecil. Itu terjadi di depan mata saya, menyinggung kehidupan saya, menyentuh kehidupan saya.”
G30S dan Lekra
Putu Oka Sukanta adalah salah satu dari sekian banyak seniman Lekra yang tidak mengetahui adanya peristiwa G30S pada saat tragedi itu terjadi. Ia justru tahu soal itu dari muridnya, karena pada saat itu ia berprofesi sebagai guru.
“Jangankan saya, anggota CC (Comite Central) PKI saja tidak tahu,” imbuhnya.
Ia ikut dipenjara karena terlibat dalam Lekra, kelompok yang dituduh sebagai perpanjangan tangan PKI. Soal ini, ia kutip pernyataan dari Djubar Ajoeb, bekas Sekretaris I Lekra
“Sebelum meninggal dia bilang yang berhasil mem-PKI kan Lekra itu Soeharto, bukan D.N Aidit, ya kan? Jadi D.N. Aidit gagal menjadikan Lekra ini lembaga kebudayaan PKI, yang berhasil itu adalah Soeharto dengan membunuh dan segala macam, hehehe.”
Menurut Putu Oka, Lekra berdiri pada 17 Agustus 1950 sebagai hasil percaturan kebudayaan di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi dan peran rakyat di dalam kebudayaan.
“Pada tahun 50 itu kan infiltrasi kebudayaan Eropa[Barat], sejak jaman penjajahan itu kan sangat kuat,” tutur Putu Oka.
“Seniman-seniman Indonesia ada yang berorientasi ke Barat, tapi juga ada yang berorientasi ke tanah air. Nah di samping itu, feodalisme yang bekerjasama dengan penjajah ini juga cukup kuat di dalam bidang kebudayaan. Sehingga yang dihadapi oleh pendiri-pendiri Lekra pada waktu itu adalah membangun kebudayaan yang kerakyatan sekaligus yang anti imperialisme dan anti feodalisme.”
Nama-nama seperti Ki Hajar Dewantoro, Sutan Takdir Alisjahbana, Hans Bague Jassin juga ikut menjadi pendiri Lekra pada awalnya. Namun ketika Lekra memutuskan untuk lebih memihak pada rakyat – saat itu disebut ‘aliran kiri’ – maka sejak itu para pendiri awal memilih untuk memisahkan diri.
Lagu untuk petani
Keberpihakan kepada rakyat itu pulalah yang membuat sastrawan peraih Hellman/Hammet Award 2012 ini mencoba membuat syair lagu tentang penderitaan petani. Judul lagunya “Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu”. Lagu itu diciptakan setibanya Putu Oka di Jakarta pada tahun 1964-an. Ia bertemu dengan seorang musisi bernama Karatem yang sama-sama sering berkumpul di Jalan Cidurian 19, Cikini, Sanggar Lekra.
“Dia main piano saya dengarkan, kemudian saya juga sering pergi ke Bandung ketemu dengan anak-anak Pemuda Pelajar Tionghoa pada waktu itu. Saat itu adalah situasi bagaimana petani berusaha merealisasi Undang-undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Bagi Hasil. Itu artinya ada aksi petani menuntut haknya. Nah, alam Sunda itu begitu menyentuh saya,” ceritanya.
“Saya tungguin Karatem main piano saya bilang, “Tem, kita bikin lagu, aku ada puisi tentang petani di kaki-kaki Tangkuban Prahu. Tapi kamu harus mampu mengeluarkan nada Sunda’,” katanya mengenang pertemuan dengan Karatem.
Beberapa hari mereka duduk bersama, berdebat sampai akhirnya keluarlah lagu itu.
“Jadi lagu itu mencerminkan atau merefleksikan bagaimana petani yang miskin, tinggalnya di gubuk-gubuk . Siang hari dia ikut aksi, aksi tanah. Pada malam hari dia main kecapi atau mendengarkan kecapi. Jadi dinamika atau romantisme, waktu itu romantisme revolusioner.”
“Teman-teman Pemuda Indonesia Tionghoa mempunyai paduan suara kecapi, orkestra kecapi. Sehingga kecapi ini melekat sekali di dalam benak saya, sehingga lirik itu keluar .” Lagu itu menjadi lagu wajib Pemilihan Bintang Radio Pusat RRI tahun 1965 dan 1967.
Bunga Merah dan Pucuk Bambu
Ada satu lagu lagi yang dia ciptakan bersama Mikael Karatem yang berjudul “Bunga Merah” - masih bertemakan perjuangan petani.
”Banyak peristiwa aksi petani yang mengilhami lagu itu [Bunga Merah],misalnya jengkol di Jawa Tengah, kemudian di Bandar Betsy [Sumatera Utara], ada di Boyolali, ada di Klaten, ada di Bali. Pada waktu itu terjadi peristiwa aksi petani yang menduduki tanah, menuntut tanah lebih. Menuntut upah yang wajar.”
Ia menambahkan, “Bunga Merah itu menceriterakan bahwa banyak petani gugur di dalam aksi itu. Sehingga saya imajinasikan dia tumbuh sebagai bunga merah di pematang yang disiram oleh darah petani yang gugur melawan militer, melawan feodalisme pada waktu itu. Itu terjadi di tahun ‘64 dan ‘65.”
Sepuluh tahun dipenjara di Salemba, Putu Oka Sukanta menghasilkan satu lagu lagi yang dibuatnya bersama Chaerul Samsi. Chaerul adalah seorang mahasiswa kedokteran korban tragedi ’65 yang juga ikut dipenjara bersamanya.
Lagu itu berjudul ‘Pucuk Bambu’ dengan irama keroncong yang membuat telinga siapapun yang mendengarnya ikut terharu. Melukiskan pohon bambu yang pucuknya didera angin, meliuk-liuk, tetapi tidak pernah tumbang. Hanya daunnya yang sudah kuning kering berguguran. Bambu melukiskan ideologi yang terus hidup, bagaikan pohon bambu yang akarnya mencengkram tanah.
Lagu ini dibuat di Penjara Salemba, 1969, sebagai pelukisan para tahanan yang menghadapi siksaan, kelaparan dan penyakit berbagai macam, tetapi tetap hidup.
Untuk menghargai karya dan upaya Putu Oka Sukanta sebagai sosok penyintas dari peristiwa 1965, maka Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Mata Budaya dan Goethe Haus akan menyelenggarakan sebuah acara berjudul “60 tahun Putu Oka Berkarya”. Acara berlangsung pada 3-4 Oktober 2014 di Goethe Haus.