NASIONAL

Mutiara di Ilalang Pulau Buru

Mutiara di Ilalang Pulau Buru

Bicara soal kisah para tahanan politik, biasanya yang langsung terlintas adalah kisah duka. Tapi rupanya, cerita mereka tak melulu ditulis dengan nada getir. Kadang cerita lucu juga layak dijadikan buku dan dibaca oleh generasi yang tak merasakan langsung sejarah kelam Republik ini. 


Alasan itulah yang membuat Tedjabayu Sudjojono memilih menulis kisah-kisah unik dan lucu yang dialaminya di Pulau Buru. Dia mengaku bosan dengan teman-teman eks PKI yang selalu cerita tentang kekejaman-kekejaman di sana. Tetapi sisi-sisi humor, yang bagus didengar anak muda, tidak terucap. 


Kata Tedjabayu, ide ini muncul setelah bekas atasannya di LBH yakni Nursyahbani Katjasungkana membaca buku hariannya. Nursyahbani menilai cerita-cerita ini harus dibuat buku, supaya orang lain tahu.


“Anak-anak saya juga mendesak agar pengalaman ini ditulis. Ini bisa menjadi catatan dan bagian kecil dari pelurusan sejarah,” tambah pria berusia 70 tahun itu. 


Mutiara di Padang Ilalang


Tedjabayu Sudjojono sudah punya judul untuk bukunya itu yaitu “Mutiara di Padang Ilalang”. Katanya, kata ‘ilalang’ diambil karena dulu di Pulau Buru penuh dengan ilalang. Sementara ‘mutiara’ itu menunjuk pada para tapol yang ditahan di sana. 


Dia mengaku sudah menulis sampai 140 halaman, dari target 250 halaman. Harapannya buku ini sudah bisa terbit akhir tahun ini. 


Salah satu kisahnya adalah pertemuannya dengan Panglima Kodam XV Pattimura Wing Wiryawan. Kata Tedjabayu, ada beberapa tahanan yang kenal dengan Wing. Mereka berusaha bersembunyi di balik punggung tahanan lain, agar tak dilihat oleh sang panglima. 


“Saat itu Wing sedang pidato, dia bilang ‘Masa saya lupa dengan kamu?’. Wing langsung memeluk teman-temannya itu. Saya juga disalami oleh Wing, karena saya berdiri di dekat mereka,” tambahnya. 


Sejak itulah penilaian para pleton pengawal berubah 180 derajat. Petugas itu tak mengira kalau para tahanan, yang setiap hari mereka pukuli, ternyata punya kenalan seorang jendral ahli perang. 


“Setelah Wing pergi, tonwal (pleton pengawal – red.) ini mendekati saya. Dia tak mengira kami orang-orang besar. Sebelumnya dia memanggil saya ‘ose’ (bahasa kasar untuk kamu -red), Sekarang dia  memanggil saya ‘ale,” kenang Tedjabayu sambil tertawa. 


Disuruh Merayap Sampai Berdarah 


Cerita lainnya adalah kebiasaan seorang kapten yang selalu membangunkan para tahanan pukul 3 pagi. Di tengah udara dingin, mereka disuruh merayap di bebatuan sampai tangan luka semua. 


Setelah itu mereka pergi ke sawah menjadi petani. Pemerintah punya target Pulau Buru sebagai proyek beras di Maluku dan target itu berhasil dilaksanakan para tahanan. 


“Sekali waktu dia bertanya pada kami, ‘Kamu tahu sekarang tanggal berapa?’ Dia tanya sampai memukuli kami. ‘Ini tanggal 23 Mei. Hari ulang tahun kalian’,” kata Tedjabayu. Ternyata 23 Mei adalah hari ulang tahun PKI. “Lah, mana saya tahu,” ucap Tedjabayu. 


Ada kapten lain yang minta dibuatkan kebun bunga di wismanya. Saat itu ada seorang tahanan yang petani bunga di Jawa Tengah. Dia membuat taman bunga yang bagus. 


“Bunga-bunga ditanam di gundukan tanah. Karena tanahnya terbatas, hanya ada tujuh gundukan. Tapi sang kapten malah marah, si tukang kebun itu dianggap mengingatkan pada tujuh jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya.” 


Dituding PKI


Semasa kuliah di UGM, putra dari pelukis terkenal S Sudjojono ini menjadi  anggota  Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Organisasi ini  menolak sistem perpeloncoan di UGM, karena dianggap peninggalan zaman feodal. Di kemudian hari CGMI dianggap bagian dari PKI.


Tedjabayu ditangkap saat mempertahankan gedung Universitas Respublika yang didirikan Utami Suryadarma, istri Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma. Universitas itu sekarang dikenal dengan nama Universitas Trisakti, Jakarta.  


Saat itu dia dan beberapa temannya tengah berjaga setelah ada kabar gedung itu akan diserbu oleh KAMI/KAPPI pada 1966. Gedung itu dianggap milik PKI. Kata dia, sebelum terjadi penyerang datanglah tentara yang baru kembali bertugas dari operasi Dwikora di Kalimantan Barat. 


“Tentara berjanji akan melindungi dan membawa kami ke kantor polisi. Kami didata, saya bilang dari CGMI. Ada yang bilang dari PKI, dari Pemuda Rakyat. Ada yang dari HIS (Himpunan Sarjana Indonesia). Ternyata kami dibawa ke rumah tahanan Wirogunan, Yogyakarta.”


Setelah itu, dia dimasukkan ke Nusakambangan. Dua tahun di sana, pria itu dibawa ke penjara Ambarawa. Selanjutnya dipindah lagi ke Nusakambangan pada akhir 1968 dengan status tahanan militer bersama beberapa tokoh, seperti pimpinan PKI Jawa Tengah Musaid, dan orang dari Biro Khusus (BC). 


Tedjabayu masuk Pulau Buru pada 1970 dan akhirnya dibebaskan bulan November 1979. Setelah itu dia bekerja di LBH dari 1980 sampai 1993. 


“Saya Maafkan, Asal…”


Tedjabayu mengaku tak terlalu merasakan stigma PKI yang dilancarkan oleh penguasa Orde Baru. Pasalnya, setelah bebas dia diterima di LBH dan di sana tak ada diskriminasi atau stigma seperti itu. Bahkan, kata dia, pengacara senior Adnan Buyung Nasution selalu melindunginya kalau ada aparat intel yang bertanya. 


“Tetapi gerak saya dibatasi. Saya tak bisa ke luar negeri. Saya seharusnya mau sekolah ke Amerika Serikat. Saat Pemilu kami juga diharuskan ikut Golkar. Setelah 98 kami boleh memilih dengan bebas.” 


Tedjabayu menegaskan kejadian ‘65 adalah pelanggaran HAM berat dan harus diungkap. Tapi dia termasuk yang tidak setuju dengan para eks PKI lain yang menuntut ganti rugi dari pemerintah. 


“Buat saya, kalau ganti rugi itu kita kumpulkan semua, dananya kita buat saja bendungan yang bermanfaat untuk masyarakat. Bukan untuk kita-kita perorangan.”


“Saya berprinsip, sejahat-jahatnya orang kalau dia minta maaf, bahkan Soeharto pun kalau dia minta maaf, saya akan maafkan dia. Tapi hukum tetap harus jalan. Prinsip saya ini mirip dengan yang diyakini Nelson Mandela.”


Baginya, yang penting rakyat tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu, dan pelanggaran HAM ini harus dituntaskan.  







  • pki
  • stigma

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Warsono Hadisubroto3 years ago

    Sampai ketemu lagi kapan-kapan Mas Tedjabayu. Kita ngobrol lagi nanti. https://youtu.be/JaGAFwPz8Us