NASIONAL

Tim PPHAM Mulai Bekerja, Meski Menuai Protes

"Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) bakal segera mengkaji kasus-kasus HAM berat masa lalu. "

Tim PPHAM Mulai Bekerja, Meski Menuai ProtesAksi

KBR, Jakarta- Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) bakal segera mengkaji kasus-kasus HAM berat masa lalu.

Hal itu disampaikan Ketua Tim Pelaksana PPHAM Makarim Wibisono dalam konferensi pers usai rapat perdana tim tersebut di Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 25 September 2022.

Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi yang Berat Masa Lalu.

“Insyaallah dalam waktu yang dekat kita sudah mulai melakukan pengkajian-pengkajian dalam waktu dekat kita akan bertemu muka dengan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan kejadian tersebut,” kata Makarim.

Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono mengatakan hasil rapat perdana di Surabaya akan mengawali tugasnya, dengan mempelajari sebanyak 13 kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu, sebagaimana telah ditetapkan Komnas HAM.

Kasus-kasus itu adalah, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II di 1998-1999, Mei 1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003.

Kemudian peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Jambo Keupok 2003, simpang KKA Aceh 1999, Rumoh Geudong, dan pos Sattis Aceh 1989, pembunuhan dukun santet 1998-1999 dan Paniai di 2014.

Selain 12 kasus itu, ada satu kasus yang kini sudah masuk ke peradilan, yakni tragedi Paniai, Papua, yang terjadi pada 2014.

Mengutip berbagai sumber, Tim PPHAM terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Pelaksana, dengan masa kerja hingga 31 Desember 2022. Namun, bisa diperpanjang kembali dengan keputusan presiden.

Tim Pelaksana:

- Ketua: Makarim Wibisono

- Wakil: Ifdhal Kasim

- Sekretaris: Suparman Marzuki.

Anggota:

- Apolo Safanpo

- Kiki Syahnarki

- Mustafa Abubakar

- As'ad Said Ali

- Zainal Arifin Mochtar

- Akhmad Muzzaki

- Komaruddin Hidayat

- Rahayu

Tugas Tim Pelaksana antara lain melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020.

Tim Pelaksana nantinya akan diberikan arahan oleh Tim Pengarah, yang diketuai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.

Mahfud turut hadir dalam rapat perdana di Surabaya, kemarin. Kata dia, PPHAM dibentuk lantaran Komnas HAM kesulitan memproses perkara-perkaranya melalui mekanisme yudisial.

"Komnas HAM menyatakan saat ini tersisa 13 pelanggaran HAM berat. Sebanyak sembilan kasus terjadi sebelum dibuat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, empat kasus terjadi setelah keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000," ujar Mahfud dalam kesempatan yang sama.

Selain Mahfud, Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Koordinator bidang Pembangunan dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sebagai wakil ketua Tim Pengarah. Anggotanya ialah, menteri hukum dan hak asasi manusia, menteri keuangan, menteri sosial, dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP).

Berdasarkan Pasal 16 dalam keppres tersebut menyatakan, biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim PPHAM bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui bagian anggaran Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Tuai Protes

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan pengesahan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM (PPHAM) Non-Yudisial yang baru saja dipublikasikan oleh pemerintah.

Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengatakan tidak ada transparansi, dan tidak ada keterbukaan terhadap publik dalam pembentukan tim tersebut.

“Ini tujuannya sebetulnya untuk apa? kalau untuk korban dan keluarga korban kenapa pembentukannya sengaja ditutup tutupi. Keberadaan Keppres yang tersebar ini yang ditandatangani per 26 Agustus 2022 kami akhirnya menemukan kejanggalan. Sejak awal kami ada upaya mencari tahu sebenarnya dokumen ini seperti apa dan memintanya secara resmi melalui mekanisme keterbukaan informasi,” kata Rivanlee kepada KBR, Kamis, (22/9/2022)

KontraS mencatat, kejanggalan dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2022 itu tercantum susunan keanggotaan Tim Pelaksana yang salah satunya adalah Kiki Syahnakri.

Nama Kiki tercantum pada daftar unit kejahatan berat (SCU) yang berperan sebagai Jaksa Penuntut di Pengadilan Hibrid Timor Timur PBB dengan dakwaan berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi kepada warga Timor Timur, pada tahun 1995.

Dewan Kehormatan Militer memindahkan Kiki setelah adanya temuan investigasi bahwa sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 164, ia turut bertanggung jawab dalam pembunuhan 6 warga Liquica yang dilakukan oleh anggota Komando Resor Militer (Korem).

Rivanlee mengungkapkan, sejak wacana pembentukan, Tim PPHAM Non-Yudisial sudah menuai polemik terkait ketergesaan dalam menuliskan materi, ketidakterbukaan terhadap publik, hingga upaya memasukkan nama-nama tertentu tanpa konfirmasi.

Sejumlah polemik tersebut dinilai berpotensi membuat impunitas semakin menguat.

“Ada kesengajaan untuk menutupi informasi. Kesengajaan menutupi informasi ini makin menegaskan saja bahwa negara memang sengaja menggunakan jalan pintas yang dianggap sudah menuntaskan atau berupaya menuntaskan pelanggaran HAM berat padahal yang terjadi justru ini adalah siasat sesaat saja,” katanya.

KontraS menilai, keberadaan keppres ini tidak relevan, karena dinilai mengaburkan upaya korban dan keluarga korban menemukan keadilan dalam bentuk pengungkapan kebenaran, dan jaminan atas ketidakberulangan.

Berdasarkan hal tersebut KontraS mendesak presiden membatalkan keppres pembentukan Tim PPHAM tersebut.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Tim PPHAM
  • HAM
  • Komnas HAM
  • Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
  • KontraS
  • Keppres Nomor 17 Tahun 2022

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!