NASIONAL

BUMN Diminta Modernisasi Produksi Garam Lokal

"Tapi Direktur Utama PT Garam (Persero) Arif Haendra mengungkapkan, saat hendak membeli garam lokal dari petani, justru yang diharapkan tidak diperoleh."

Maria Katrina

Garam Lokal
Petani memanen garam di Kelurahan Pallengu, Bangkala, Jeneponto, Sulsel (17/1/2019). (Foto: ANTARA/Arnas Padda)

KBR, Jakarta - Garam lokal ternyata lebih dicari masyarakat dibandingkan garam impor. Hal ini karena harga garam impor yang lebih mahal. Tapi Direktur Utama PT Garam (Persero) Arif Haendra mengungkapkan, saat hendak membeli garam lokal dari petani, justru yang diharapkan tidak diperoleh. Sebaliknya, para petani justru meminta PT Garam yang menjual garam lokal kepada petani, karena alasan harga garam impor kelewat mahal.

“Jadi pada saat kami sosialisasi di Cirebon, petani mempertanyakan PT Garam menjual berapa, jadi kami tidak bisa menyerap karena tidak ada barang di petani, malah kami diminta menjual karena harga garam impor di Cirebon jauh lebih mahal dari garam lokal,” kata Arif Haendra saat Rapat Kerja dengan Komisi bidang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di DPR RI, Senin (5/9/2022).

Arif menambahkan, PT Garam memiliki garam sehat yaitu dengan kandungan natrium klorida atau NaCL maksimal 50 persen. Namun, berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI) untuk garam konsumsi, justru harus mencapai minimal NaCL 94 persen. "Kondisi ini sangat bertolak belakang," tukasnya.

Maka dari itu, PT Garam kini sedang mengutamakan perubahan SNI garam konsumsi dari NaCL minimal 90 persen menjadi NaCL maksimal 90 persen. "Ini dilakukan karena pentingnya kandungan mineral seperti NaCL yang ada di garam," ujarnya.

Dikatakannya, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Garam sudah tepat, yakni kandungan NaCL di dalam garam sehat maksimal 60 persen.

Namun, beberapa fraksi di DPR mengatakan, angka NaCL maksimal 90 persen yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian membuat peluang garam lokal menjadi kecil untuk masuk ke pasaran. Sehingga, peluang garam-garam impor sajalah yang semakin besar peluangnya masuk ke pasaran.

Hal ini juga yang membuat Anggota Komisi bidang BUMN DPR RI I Nyoman Parta menyarankan perlunya mempertanyakan kembali standar tinggi angka NaCL yang ditetapkan.

Modernisasi Produksi

Sementara itu, sebagai salah satu BUMN, PT Garam (Persero) diminta mengutamakan produksi dan meningkatkan kualitas garam lokal daripada hanya mengimpor garam.

Anggota Komisi bidang BUMN di DPR Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan, ketergantungan impor garam terutama ke Australia, karena teknologi produksi garam di Indonesia masih secara tradisional. Untuk itu, Rieke mendukung upaya memodernisasi produksi garam lokal.

Baca juga:

- Lampaui Target, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Raup PNBP Rp20,9 Miliar

- BI Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2022 Naik Hingga 5,5%

“Oleh karena itu untuk PT. Garam, saya mendukung untuk ada perbaikan dari teknologi yang digunakan agar hasil produksinya ini sesuai dengan produk PT. Garam. Maka, pilihlah mesin produksi yang cocok dengan garam kita, Pak. Bukan garam impor, bukan garam yang bahan bakunya impor,” ujar Rieke Diah Pitaloka.

Rieke juga meminta kepada PT Garam Persero untuk memperluas lahan produksi garam lokal, agar produktivitas garam juga meningkat. Sementara itu, Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor garam Indonesia tahun lalu mencapai 3 juta ton, atau senilai Rp1,5 triliun.

Editor: Fadli Gaper

  • garam
  • impor garam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!