BERITA

Pengamat: Krisis Energi di Inggris dan China Tak Berdampak ke Indonesia

"Oleh karena itu kegiatan eksplorasi baik itu di sektor migas maupun minerba harus terus dilakukan untuk mencari potensi-potensi cadangan mineral dan batubara, serta potensi cadangan minyak dan gas."

Pengamat: Krisis Energi di Inggris dan China Tak Berdampak ke Indonesia
Ilustrasi, antrean warga untuk membeli BBM disalah satu SPBU di Kupang. Foto: Antara

KBR, Jakarta- Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menyatakan krisis energi yang saat ini melanda Inggris dan China, tidak berdampak pada Indonesia. 

Mamit menilai, ketahanan energi Indonesia masih sangat kuat, walaupun Indonesia masih menjadi net importir untuk bahan bakar minyak (BBM).

"Tetapi sejauh ini masih terpenuhi dan Pertamina juga masih terus melakukan produksi di kilang-kilang milik Pertamina, dan juga terus melakukan impor dalam rangka memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Sehingga untuk BBM saya melihatnya sejauh ini, krisis ini masih jauh lah. Dan saya yakin teman-teman di Pertamina sudah menyikapi juga kondisi yang terjadi secara global dan pastinya sudah mempunyai strategi-strategi bagaimana untuk mengamankan pasokan energi kita baik itu BBM maupun elpiji, sehingga tidak terjadi kendala di lapangan," kata Mamit saat dihubungi KBR, Kamis (30/9/2021).

Baca juga: Indonesia Targetkan Tak Impor LPG dan BBM pada 2030

Meski begitu, Mamit mengingatkan pemerintah agar mampu mengendalikan sektor energi yang lain, terutama mineral dan batu bara.

Hal ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan energi dalam negeri. Sehingga ke depan, Indonesia tidak benar-benar menjadi importir tetap bahan bakar energi.

"Oleh karena itu kegiatan eksplorasi baik itu di sektor migas maupun minerba harus terus dilakukan untuk mencari potensi-potensi cadangan mineral dan batu bara, serta potensi cadangan minyak dan gas yang ada di Indonesia. Dan saya kira itu semua butuh kebijakan dari pemerintah, political will dari pemerintah untuk memberikan akses-akses dalam rangka mencari investasi ataupun mendorong investasi baik di sektor hulu migas maupun di sektor minerba ini," imbuhnya.

Namun dari segi ekonomi krisis tersebut diprediksi akan mengganggu perekonomian.

Pendapat ini disampaikan Direktur Eksekutif lembaga kajian ekonomi Indef, Tauhid Ahmad. 

Menurutnya, pemerintah Indonesia mesti belajar dari krisis energi di China dan Inggris. Pasalnya ada beberapa masalah dan tantangan terkait sektor energi dalam negeri yang berpotensi memberi dampak kepada ekonomi Indonesia. Ia juga menilai transisi ke Energi Baru Terbarukan (EBT) bakal membutuhkan waktu yang lama, sehingga belum bisa dijadikan solusi cepat.

"Pertama karena harga melambung tinggi. Negara-negara yang biasanya men-supply cukup banyak menghadapi kendala seperti Timur Tengah dan negara lain. Nah kedua mungkin masalah jalur logistik, sehingga terlambat pengirimannya. Itu kan tadi internasional, di dalam negeri ini kita hanya menghasilkan sekotar 720-710 barrel per hari sementara kebutuhannya 1400-1450 barrel per hari untuk memenuhi energi terutama untuk kendaraan," ujar Tauhid, saat dihubungi pada waktu berbeda.

Menurut Tauhid, untuk sektor energi listrik ia memprediksi Indonesia tidak akan kewalahan, bahkan akan mendapat surplus yang cukup banyak.

Namun dari sektor energi bahan bakar minyak (BBM), Indonesia masih berpeluang terimbas lantaran pasokan yang tersendat dari negara-negara produsen, akan membuat harga produk melambung tinggi karena banyak diperebutkan.

Editor: Dwi Reinjani

  • krisis energi
  • BBM
  • migas
  • energi terbarukan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!