BERITA

Menguat, Desakan agar Lili Pintauli Mundur dari Wakil Ketua KPK

"Berbagai pihak mendesak Lili Pintauli Siregar mundur dari posisi Wakil Ketua KPK, setelah dinyatakan bersalah melanggar etik pimpinan KPK. "

Menguat, Desakan agar Lili Pintauli Mundur dari Wakil Ketua KPK
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar usai menjalani sidang etik di Jakarta, Senin (30/8/2021). (Foto: ANTARA/Reno Esnir)

KBR, Jakarta - Sejumlah pihak mendesak agar Lili Pintauli Siregar mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Desakan antara lain datang dari Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Partai Demokrat Santoso.

Santoso menganggap sanksi berupa pemotongan gaji yang dijatuhkan Dewan Pengawas KPK terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terlalu ringan.

Baca juga:

Santoso ia mendesak Lili Pintauli mundur karena terbukti melanggar etika sebagai pimpinan. Santoso menilai tindakan Lili Pintauli bertemu orang-orang yang sedang berperkara di KPK tidak layak dan harus ditindak tegas.

"Menurut masyarakat, tindakan yang dilakukan Ibu LP ini tidak pantas dilakukan seorang pimpinan KPK yang melakukan pertemuan dengan pihak yang beperkara. Karena itu sanksi harus tegas. Jangan terkesan membela korps. Karena sanksi sudah diputuskan, maka untuk memberi kepercayaan publik, Bu LP harus mengundurkan diri, menurut saya," kata Santoso kepada KBR, Selasa (31/1/2021).

Santoso mengatakan DPR bakal mempertanyakan sanksi ringan terhadap wakil ketua KPK itu dalam rapat kerja dengan KPK pekan depan.

Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK memvonis bersalah Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku insan KPK.

Lili terbukti berhubungan dengan pihak yang berperkara di KPK. Lili juga dianggap menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi. Dewan Pengawas KPK memberi sanksi pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Baca juga:

Sanksi Dewas tidak Tepat

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menilai, sanksi yang diberikan Dewan Pengawas KPK terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar tidak tepat.

Menurut Susi, sanksi potongan gaji tak sepadan dengan tindakan pelanggaran etik yang dilakukan Lili. Dia juga mengatakan sanksi tersebut jauh dari rasa keadilan.

“Satu perbuatan itu secara moral dikatakan baik, maka harusnya perbuatan itu dilakukan semata-mata sebagai suatu kewajiban. Dan hanya etik murni lah yang akan menunjukkan kepada kita hakekat dari kewajiban itu. Oleh karena itu, ketika kita kaitkan dengan pelanggaran etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK, itu bukanlah pelanggaran yang ringan menurut saya. Oleh karena itu, sanksinya pun haruslah sanksi yang sepadan,” ujar Susi kepada KBR, Selasa (31/8/2021).

Susi menjelaskan, sanksi yang diberikan semestinya bukan pemotongan gaji pokok. Sebab, gaji berkaitan dengan administratif. Sedangkan, tindakan yang dilakukan Lili Pintauli adalah pelanggaran kode etik.

“Jadi sanksi itu tidak tepat menurut saya, melukai rasa keadilan, karena yang dilanggarnya itu adalah pelanggaran etik,” tegasnya.

Baca juga:

Susi mendorong Lili Pintauli mundur dari jabatannya di KPK. Jika Lili tetap bertugas, KPK akan semakin kehilangan legitimasinya di masyarakat.

“Bagaimana mungkin seorang pimpinan KPK yang seharusnya lebih mengedepankan persoalan-persoalan semacam ini kemudian pernah dinyatakan melakukan pelanggaran etik. Buat saya, KPK sudah kehilangan legitimasinya di mata masyarakat karena dipimpin oleh orang-orang yang melakukan pelanggaran etik,” tuturnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dihukum dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan. Dia terbukti melanggar kode etik karena menjalin komunikasi dengan pihak berperkara yakni Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.

Editor: Agus Luqman

  • Lili Pintauli Siregar
  • pelanggaran etik pimpinan KPK
  • Firli Bahuri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!