BERITA

RKUHP Dikritik Tidak Demokratis, Pemerintah dan DPR Jalan Terus

""RUU KUHP jalan terus, masih akan kita selesaikan. Kita harapkan antara pemerintah dan DPR akan menyelesaikan yang tersisa," kata Menkumham Yasonna Laoly."

RKUHP Dikritik Tidak Demokratis, Pemerintah dan DPR Jalan Terus
Presiden Jokowi, Menkumham Yasonna Laoly, dan Seskab Pramono Anung memukul tifa saat membuka Konferensi Hukum Tata Negara VI di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9/2019). (Foto: ANTARA/Wahyu Putro A)

KBR, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) banyak dikritik karena substansinya tidak demokratis.

Berbagai lembaga mendesak pemerintah dan DPR supaya menunda pengesahan RKUHP. Legislator juga diminta mengkaji ulang sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, secara terbuka, bersama dengan perwakilan kelompok masyarakat sipil.

Namun, desakan itu jadi angin lalu. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pemerintah dan DPR malah akan mendorong supaya RKUHP bisa disahkan September 2019 ini.

"RUU KUHP jalan terus, masih akan kita selesaikan. Kita harapkan antara pemerintah dan DPR akan menyelesaikan yang tersisa. Kalau tidak, ya sudah, dibawa ke Raker (Rapat Kerja). Setelah di Raker diselesaikan, kita bawa ke Paripurna," kata Menkumham Yasonna di kantor Lemhannas, Kamis (05/09/2019).


Isu-Isu Krusial yang Sudah Disepakati Negara

Menkumham Yasonna menyebut pemerintah dan DPR sudah menyepakati sejumlah isu krusial dalam RKUHP, yaitu:

    <li>Penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, termasuk hukum adat;</li>
    
    <li>Pidana mati yang ditetapkan sebagai hukum alternatif;</li>
    
    <li>Pasal penghinaan presiden;</li>
    
    <li>Tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, terorisme, pelanggaran HAM berat;</li>
    
    <li>Pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap tubuh, dan;</li>
    
    <li>Ketentuan peralihan KUHP setelah disahkan.</li></ul>
    

    Menurut Menkumham Yasonna, satu-satunya isu yang belum disepakati hanya isu kesusilaan, seperti soal zina, "kumpul kebo", dan pencabulan.

    Ia juga menilai RKUHP harus segera disahkan untuk mengganti perundang-undangan saat ini, yang notabene merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.


    Aktivis: RKUHP Masih Berisi Hukum Penjajah

    Di sisi lain, berbagai lembaga sipil punya banyak keberatan terhadap muatan RKUHP. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) misalnya, menolak sekitar 10 pasal RKUHP yang rawan memidanakan wartawan.

    “Mengkritik pemerintah, mengkritik presiden, mengkritik lembaga-lembaga negara, penghasutan terhadap kekuasaan negara, dan juga menulis berita tentang pengadilan termasuk yang 'kritis'. Kalau ada Undang-Undang yang menyediakan pasal pidana terhadap tindakan-tindakan itu, kan sama dengan semacam upaya hukum untuk menggerogoti kebebasan pers,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan kepada KBR (2/9/2019).

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menyatakan keberatan. Menurut mereka, RKUHP tidak bisa dipakai untuk mengadili dalang pelanggaran HAM berat masa lalu.

    Sedangkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai RKUHP masih berisi hukum penjajah.

    Menurut ICJR, sampai draf versi terakhir tanggal 28 Agustus 2019, RKUHP masih memuat banyak pasal karet yang bisa menyasar akademisi, pers, dan kelompok masyarakat yang mengkritisi penguasa.

    "Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa," jelas ICJR dalam situs resminya (29/8/2019).

    Editor: Agus Luqman

  • RKUHP
  • Kementeran Hukum dan HAM
  • DPR
  • DPR RI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!