BERITA

Problem Jika RKUHP Disahkan Tanpa Persetujuan Presiden

Problem Jika RKUHP Disahkan Tanpa Persetujuan Presiden

KBR, Jakarta - Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menegaskan bahwa pengesahan RKUHP harus berdasarkan persetujuan Presiden dan DPR.

Bivitri menyebut peraturan itu sudah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2.


Bivitri memastikan DPR tidak bisa mengesahkan RKUHP secara legal/sah selama Presiden tidak membubuhkan tanda tangan persetujuan. RKUHP merupakan usul inisiatif pemerintah. 


Namun, apabila RKUHP tetap disahkan, maka akan terjadi kericuhan dari segi hukum maupun politik.


"Semua Undang-undang itu harus dengan persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Itu harus diterjemahan mulai dari perencanaan dan persetujuan harus selalu bersama. Kalau misalnya, Presiden ataupun perwakilan pemerintah dalam peripurna bilang tidak setuju, maka tidak bisa jadi Undang-undang. Konstitusi jelas seperti itu, dan diturunkan lebih jauh dalam Undang-undang 12 tahun 2011," kata Bivitri kepada KBR, Senin, (23/9/2019).


Bivitri juga menyoroti bahwa politik legislasi Presiden Jokowi selama ini tidak jelas dari awal pembahasan RKUHP. Pemerintah berubah haluan yang awalnya sepakat untuk pengesahan RKUHP, namun pada proses persetujuan justru menolak. Hal ini berdampak pada kesulitan pemerintah dalam bernegosiasi dengan DPR.

Bivitri menilai ramainya penolakan masyarakat melalui aksi maupun media sosial merupakan upaya untuk mengingatkan presiden agar RKUHP tidak disahkan.

Ia meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan saran publik dan bersikap transparan terhadap pembahasan RKUHP. Apalagi, pada proses pembahasan RKUHP, ada pertemuan tertutup antara DPR dengan perwakilan pemerintah di sebuah hotel di Jakarta yang diduga menegosiasikan pasal tertentu.

Bivitri juga meminta Presiden untuk mengundang seluruh pemangku kepentingan dalam pembahasan RKUHP, baik pakar hukum pidana, Komnas Perempuan, Kementerian Kesehatan dan-lain.

Secara substansial, Bivitri menilai 700 pasal dalam RKUHP ini lekat dengan nuansa kolonial. Namun, ia memfokuskan pada 16 pasal bermasalah yang berdampak besar dalam kehidupan sosial. Misalnya, hukum pidana bagi perempuan korban pemerkosaan yang mengaborsi kandungannya, pelanggaran HAM melalui pasal penghinaan Presiden, dan lainnya.


Review ulang


Anggota Tim Perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari pemerintah, Edward Omar Sharif Hiariej tidak keberatan ada penundaan pengesahan RKUHP karena belum adanya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah.


Ia pun merespon desakan koalisi masyarakat sipil untuk mereview ulang 14 pasal kontroversial.


Pria yang kerap dipanggil Eddy Hiariej itu mengatakan tidak keberatan jika ada dialog antara tim perumus dan ahli-ahli yang dilibatkan untuk mengkaji ulang pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Selain itu, Eddy mengklaim pihaknya dalam membuat RKUHP sudah mempertimbangkan masukan dari masyarakat.


"Oh, kita tidak masalah. Siapa pun- begini ya, dalam pembuatan undang-undang itu melibatkan semakin banyak orang semakin bagus. Semakin banyak pemikiran semakin bagus. Supaya kita bisa melihat suatu hal dari banyak perspektif," kata Eddy Hiariej pada KBR, Senin (23/9/2019).


Eddy mengklaim pihaknya terus bekerja keras menyempurnakan pasal-pasal yang ada dalam RKUHP. Ia mengakui banyak kritikan yang datang. Namun, kritik itu tanpa memperhatikan perkembangan RKUHP.


Ia justru mempertanyakan kenapa baru sekarang kritikan muncul saat KUHP akan direkodefikasi.


Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembahasan dan pengesahan RKUHP. Ia memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly untuk menyampaikan sikap tersebut ke DPR.


Pernyataan sikap Presiden Jokowi itu setelah ia mencermati masukan masyarakat. Ia lalu meminta pembahasan RKUHP dilanjutkan anggota DPR periode 2019-2024.

Jokowi berharap anggota DPR memiliki sikap yang sama. Jokowi mengatakan materi-materi kontroversial setidaknya 14 pasal dalam RKUHP.

Editor: Agus Luqman

  • RKUHP
  • KUHP
  • RUU KUHP
  • hukum tata negara
  • hukum pidana
  • Presiden Jokowi
  • paripurna DPR
  • DPR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!