BERITA

Lembaga Antikorupsi Bisa Hambat Investasi Para Koruptor

""Ketika masyarakat suatu negara membiarkan korupsi merajalela di negerinya, di saat yang bersamaan mereka mengundang masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan korupsi.""

Lembaga Antikorupsi Bisa Hambat Investasi Para Koruptor
Kepala Staf Presiden Moeldoko dan Presiden Joko Widodo berjalan meninggalkan ruangan usai konferensi pers terkait dukungan pemerintah terhadap revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

KBR, Jakarta - Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa membuat investor enggan masuk ke Indonesia.

Menurut Moeldoko, itulah salah satu alasan kenapa pemerintah mendukung pengesahan revisi UU KPK.

"Ada alasan lagi berikutnya, bahwa lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat," kata Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin sore (23/9/2019).


Moeldoko Mengaku Salah Bicara: Bukan KPK, Tapi UU KPK Lama

Tak lama berselang, Moeldoko merevisi pernyataannya sendiri.

Lewat rilisan persnya Moeldoko menjelaskan bahwa yang ia maksud bukannya "KPK menghambat investasi", tapi UU KPK lama kurang bisa memberi kepastian hukum sehingga membuat investor lari.

Ia mencontohkan, UU KPK lama tak punya mekanisme penghentian penyelidikan (SP3), sehingga orang yang menjadi tersangka korupsi dan sudah bertahun-tahun tidak ditemukan bukti, status tersangkanya tidak bisa dicabut.

"Dengan undang-undang yang baru, KPK bisa menerbitkan SP3 dan itu menjadi kepastian hukum yang bisa menjadi nilai positif bagi investasi," kata Moeldoko dalam rilisannya, Senin malam (23/9/2019).

“Jadi maksud saya bukan soal KPK-nya yang menghambat investasi. Tapi KPK yang bekerja berdasarkan undang-undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi,” katanya lagi. 


Hubungan Korupsi dan Investasi?

Jauh sebelum Moeldoko melontarkan klaim-klaim tadi, tim peneliti ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah pernah mengkaji hubungan korupsi dan investasi.

Kajiannya ditulis oleh Rimawan Pradiptyo, Abraham Wirotomo, Rafiazka M. Hilman, dan Meikha Azzani, dalam naskah akademik berjudul Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi (2015)

Berdasar riset mereka, lembaga antikorupsi yang kuat mestinya memang bisa menghambat aliran investasi. Tapi, yang dihambat itu adalah investasi dari pihak-pihak korup, yang terbiasa menyuap, melakukan penggelapan, dan memberi gratifikasi.

"Investor dari negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memilih investasi ke negara yang korupsinya juga tinggi," jelas Rimawan dkk (2015) dalam risetnya.

Begitu pula sebaliknya, investor dari negara dengan tingkat korupsi rendah cenderung melakukan investasi ke negara-negara yang korupsinya rendah.

"Implikasi dari temuan ini adalah, ketika masyarakat suatu negara membiarkan korupsi merajalela di negerinya, di saat yang bersamaan mereka mengundang masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan korupsi," jelas Rimawan dkk (2015).

Berdasar kajian terhadap data dari 185 negara, Rimawan dkk (2015) juga menemukan bahwa negara-negara korup memiliki kesenjangan ekonomi lebih tinggi, dan masyarakatnya lebih rentan terhadap konflik.


KPK Harus Independen dari Politisi dan Polisi

Rimawan dkk (2015) menegaskan bahwa keberhasilan penanggulangan korupsi sangat ditentukan oleh keberadaan lembaga antikorupsi yang kuat dan efektif.

Dan menurut mereka, salah satu syaratnya lembaga antikorupsi itu harus independen dari politisi dan polisi.

"Independen dari kepentingan politik akan menjamin lembaga antikorupsi tidak digunakan sebagai alat politik penguasa untuk menyerang atau mengkriminalisasi lawan politik," jelas Rimawan dkk (2015).

Mereka juga menyebut, berdasarkan kasus di banyak negara berkembang, polisi justru kerap menjadi pelaku korupsi atau jadi pemberi perlindungan bagi pelaku korupsi.

"Penanggulangan korupsi seperti ini hanya dapat dilakukan jika lembaga antikorupsi independen dari polisi," tegas Rimawan dkk (2015).

Editor: Rony Sitanggang

  • Revisi UU KPK
  • UU KPK
  • UGM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!