KBR, Jakarta - SMK Muhammadiyah I Depok menggelar nonton bareng film G30S/PKI karya Arifin C Noer di sekolah. Acara itu diikuti puluhan siswa SMP dan SMK.
Guru Sejarah SMK Muhammadiyah I Depok Sutarsa mengatakan pemutaran film itu digelar untuk mengajarkan sejarah tahun 1965, yang ia sebut pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), kepada anak muda.
Sutarsa mengatakan kurikulum pelajaran sejarah saat ini tidak banyak membahas peristiwa 1965 dan PKI. Dia meyakini seluruh isi film itu merupakan fakta sejarah yang terjadi.
"Materi itu sudah berkurang, bahkan soal PKI ini cenderung hilang. Padahal itu sangat penting. Kalau sejarah PKI dihilangkan, itu akan memberikan kesempatan kepada orang-orang yang mendirikan PKI untuk mencoba mempengaruhi generasi muda," kata Sutarsa di SMKN 1 Muhammadiyah, Rabu (21/9/2017).
Saat ini, Sutarsa melihat sudah ada gejala kebangkitan PKI. Diantaranya, kata Sutarsa, adalah berkumpulnya para penyintas tragedi 1965/1966 dan upaya pihak tertentu mencabut Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran ideologi komunisme.
"Komunis itu ateis. Dia tidak mengakui adanya Tuhan. Komunis tidak mengakui adanya Tuhan," kata Sutarsa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebelumnya menolak jika film itu dipertontonkan kepada anak-anak, terutama anak usia SD hingga SMP. KPAI beralasan film berdurasi 271 menit itu sarat adegan kekerasan.
Sutarsa meyakinkan anak-anak akan dibimbing guru selama menonton. Selain itu, ia mengatakan, film itu tidak akan diputar secara penuh.
Baca juga:
- KPAI Minta Lembaga Sensor Batasi Usia Anak Penonton Film G30S/PKI
- Sejarawan LIPI: Isu Neo-Komunisme Omong Kosong, Cuma untuk Komoditas Pemilu
Pelurusan sejarah
Seorang peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengusulkan kepada pemerintah agar meluruskan fakta sejarah seputar peristiwa 1965-1966. Erasmus mengatakan film G30S/PKI besutan Arifin C Noer yang dibuat 1982 itu merupakan alat propaganda pemerintah di era Orde Baru.
Erasmus Napitupulu berharap pemerintahan Joko Widodo tidak menggunakan film itu atau membuat film versi baru untuk alat propaganda.
"Poin terpenting dari isu 1965 bukan sekedar persoalan heroistiknya militer menyelesaikan kasus pada 1965, atau kekejaman PKI pada saat itu. Tapi harus dibuka kejadian sebelumnya, sampai dengan selesainya 1965. Bagaimana kemudian persekusi terjadi pada keluarga-keluarga korban. Bahkan tidak hanya korban. Tapi juga bagaimana konflik horizontal yang terjadi pasca peristiwa tersebut. Kalau hanya ingin melihat film tersebut dengan propaganda Orde Baru apa gunanya kemarin sudah bikin simposium dan lain-lain?" kata Erasmus ketika dihubungi KBR, Selasa (19/9/2017).
Erasmus juga mengingatkan, Presiden Jokowi punya janji menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, kata Erasmus, Jokowi harus lebih dulu menyelesaikan penelusuran fakta Tragedi 1965 terlebih dahulu sebelum ada film G30S dengan versi baru.
Baca juga:
- 'Film G30S Arifin C Noer, Rekonstruksi Sejarah 65 Versi Militer'
- Film Pengkhianatan G30S, Presiden Minta Buatkan yang Baru
Editor: Agus Luqman