BERITA

Pencalonan Terpidana, KPU Didesak Tak Jalankan Putusan RDP dengan DPR

""KPU-nya minta fatwa ke Mahkamah Agung apakah ketentuan ini bisa dijalankan atau tidak? Bertentangan dengan peraturan pokoknya, dengan undang-undangnya atau tidak? ""

Wydia Angga, Eli Kamilah

Pencalonan Terpidana, KPU Didesak Tak Jalankan Putusan RDP dengan DPR
Ilustrasi (sumber: Kemendagri)


KBR, Jakarta-
  Hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara Kementerian Dalam Negeri, penyelenggara pemilu, dan DPR dinilai bertentangan dengan UU Pilkada. Meski bersifat mengikat, menurut Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, KPU tidak semestinya melaksanakan putusan tersebut dengan meminta Fatwa MA yang menyatakan hasil RDP bertentangan hukum.

"Kalau menurut saya sih KPU semestinya tidak melaksanakan itu. Atau, kan sebentar lagi tanggal 15 September sudah pendaftaran ya, dia tetap jalankan tapi minta fatwa ke Mahkamah Agung. KPU-nya minta fatwa ke Mahkamah Agung apakah ketentuan ini bisa dijalankan atau tidak? Bertentangan dengan peraturan pokoknya, dengan undang-undangnya atau tidak? Nah kalau Mahkamah Agung menjawab itu bertentangan ya udah tidak usah dilaksanakan. (Dan itu langkah tercepat sebelum pendaftaran ya?) Ya langsung minta fatwa, begitu hari ini diputuskan, hari itu juga kalau menurut saya harus menulis surat ke Mahkamah Agung minta Fatwa, minta kejelasan apakah ketentuan ini bertentangan atau tidak," papar Abdul kepada KBR, Senin (12/9/2016).


Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Dalam Negeri, penyelenggara pemilu, dan DPR pada Jumat (9/9/2016)  dilakukan perubahan terhadap PKPU no. 5 tahun 2016  menjadi tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali culpa levis dan/atau karena melakukan tindak pidana yang hukumannya bukan pidana penjara.


Padahal menurut UU no 10 tahun 2016 tentang pilkada pada pasal 7 untuk menjadi kepala daerah mensyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.


"Itu jelas-jelas bertentangan karena pengertian terpidana itu adalah orang-orang yang pernah bersalah, pernah melakukan tindak pidana, pernah diproses persidangan dan dijatuhi hukuman dan dinyatakan bersalah. Terlepas dari hukumannya itu hukuman penjara segera masuk atau percobaan, atau denda. Karena yang disebut terpidana itu adalah orang yang melakukan kejahatan," ujar Abdul.


Abdul melanjutkan, "setiap pembuatan peraturan perundangan, terutama Undang-undang atau peraturan perundangan lain yang melibatkan DPR atau unsur partai politik, kekuatan politik, maka isinya itu sebenarnya pertarungan kepentingan. Isi dari bunyi pasalnya atau bunyi ayatnya itu pasti pertarungan kepentingan. Bukti nyatanya ya itu tadi. Bahwa sebenarnya menurut pasal Undang-Undangnya terpidana itu dilarang tapi kemudian masih disiasati dengan kecuali-kecuali itu. Padahal kecualinya itu justru bertentangan dengan peraturan pokoknya."



Tidak Sah

Komisi Pemilihan Umum KPU diminta menolak putusan RDP dengan Komisi Pemerintahan DPR, soal terpidana percobaaan, akhir pekan kemarin. Anggota Komisi Pemerintahan dari fraksi PDIP, Arteria Dahlan, mengatakan, kesimpulan kemarin tidak sah, karena tidak sesuai mekanisme MD3 dan peraturan yang berlaku di komisi Pemerintahan DPR.


Kata dia, saksi ahli yang didatangkan dalam RDP juga tidak mendapat persetujuan dari anggota komisi.


KPU, kata Arteria tidak akan mendapatkan sanksi jika bersikukuh menolak kesimpulan yang tak masuk akal tersebut. Arteria mengatakan pada rapat selanjutnya, selain mempertanyakan dasar kesimpulan, PDIP juga meminta DPR memanggil kembali KPU dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.


"RDP ini tidak sah, makanya KPU untuk khusus ini, terpidana ini memutuskan mana yang benar dan salah. Iya mengikat, sepanjang sudah ditetapkan, ini bukan disahkan. Yang lainnya tidak ada masalah karena sepakat bulat. Yang ini tidak sepakat, karena ada kesepakatan bulat, kok malah disepakati. Ini kesepakatan dengan pemerintah yang Dirjennya Sony. Itu yang sepakat. Kami tidak sepakat," kata Arteria kepada KBR, Senin (12/9/2016).


Arteria juga mengkritik sikap pemerintah yang membenarkan kesimpulan ngawur DPR. Apalagi, sebelum RDP berakhir, KPU yang sikapnya berani menentang DPR, malah melunak.


"KPU awalnya sepakat menolak, tetapi ketika melihat pemerintah berselancar, akhirnya KPU menerima. Sampai muncul pernyataan, kami akan mengikuti saja, keputusan DPR dan pemerintah. Itu kan jawaban komisioner. Kami tidak akan diam. Jangan sampai DPRnya sudah kurang waras, pemerintahnya juga. Bahkan Ditjen Otda membantu DPR membuat kalimat. Antara menteri dan dirjennya berbeda. Yang mana yang mau kami pegang. Menteri kan berpegang pada PKPU yang dibuat KPU," jelas Arteria.


Menurut Arteria, kesimpulan RDP bisa saja dibatalkan dan tidak menggantungkan pada kesimpulan yang sudah diketok pemimpin komisi. PDIP, kata Arteria menegaskan akan berada paling depan untuk meluruskan PKPU yang dinilai sarat kepentingan politik. Untuk jadwal RDP, kata dia kemungkinan akan digelar Rabu lusa. Mengingat batas waktu pembahasan PKPU pada Kamis besoknya.


"Harusnya bisa membuka sidang soal PKPU di DPR. Jangan menggantungkan pada kesimpulan yang sudah diketok. Ini kan kita bicara norma, nurani, moralitas.  Kita akan agendakan cepat, karena tenggat 15 itu, mengikat tidak hanya KPU, tapi Bawaslu bisa memfinalisasi peraturan Bawaslu dan peraturan Gakumdu antara poilri dan kejagung," pungkasnya.


Editor: Rony Sitanggang

  • pkpu no 5 tahun 2016
  • Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar
  • Anggota Komisi Pemerintahan dari fraksi PDIP
  • Arteria Dahlan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!