BERITA

Ditjen Pajak Bantah Tax Amnesty Tekan UMKM

""Harus ada kontribusi, sumbangannya kepada negara. Nah, sumbangannya itu disesuaikan dengan profil mereka. 0,5 persen kami anggap sudah mencerminkan, UMKM kontribusinya di tax amnesty lebih ringan""

Ditjen Pajak Bantah Tax Amnesty Tekan UMKM



KBR, Jakarta- Direktorat Jenderal Pajak membantah   kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty menekan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Juru Bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, dalam kebijakan tax amnesty, pengenaan tarif yang hanya 0,5 persen untuk UMKM sepanjang program berlaku, sudah cukup menarik.

Selain itu, kata dia, sepanjang UMKM itu pendapatannya sudah di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sudah seharusnya berkontribusi mendukung penerimaan negara melalui pajak

"UMKM sepanjang di atas PTKP harus ada kontribusi, sumbangannya kepada negara. Nah, sumbangannya itu disesuaikan dengan profil mereka. 0,5 persen kami anggap sudah mencerminkan, UMKM kontribusinya di tax amnesty lebih ringan, instead of 2 persen untuk wajib pajak yang lain. Kalau dianggap salah sasaran, negara dapat dana untuk menyediakan sarana prasarananya dari mana lagi?" kata Yoga kepada KBR, Kamis (01/09/16).


Yoga mengatakan, saat ini pemerintah menerapkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang saat ini Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Sehingga, UMKM yang penghasilannya di atas PTKP itu, tetap harus membayar pajak. Apabila ikut tax amnesty, UMKM bakal dikenai tarif 0,5 persen sepanjang program berjalan, sedangkan wajib pajak yang lain 2 persen pada periode pertama, dan bakal naik pada periode berikutnya. Meski begitu, apabila Ditjen Pajak menemukan ada harta yang tidak laporkan dan wajib pajak tidak bisa membuktikan asal-usulnya, wajib pajak itu bisa kenai denda 200 persen dari pajak yang harus dibayarkan.


Yoga mengatakan, pemerintah akan terus menyosialisasikan kebijakan tax amnety kepada UMKM. Meski begitu, Yoga berkata, saat ini pemerintah tengah fokus pada wajib pajak besar yang memiliki potensi aset untuk dideklarasikan dan direpatriasi lebih besar.


Sebelumnya, kelompok keagamaan Muhammadiyah menyatakan akan mengajukan uji materi UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstritusi. Salah satu alasannya, mereka menilai pemerintah salah sasaran terhadap pelaksanaan tax amnesty yang sudah berlaku sejak Juli 2016 lalu. Pasalnya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) turut menjadi sasaran dalam kebiajakan tax amnesty, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Mereka juga menilai kebijakan tax amnesty justru menimbulkan keresahan di kalangan UMKM.

Baca: Muhammadiyah

Pada Juli lalu, kebijakan tax amnesty mulai berlaku efektif. Tax Amnesty menetapkan tiga tarif repatriasi, yakni 2 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan sampai sejak bulan pertama sampai ketiga, 3 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan sejak bulan keempat sampai 31 Desember 2016, dan 5 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan 1 Januari sampai 31 Maret 2017.

Adapun tarif deklarasi aset dari luar negeri meliputi 4 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan sampai bulan pertama sampai ketiga, 6 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan sejak bulan keempat sampai 31 Desember 2016, dan 10 persen untuk periode penyampaian surat pernyataan 1 Januari sampai 31 Maret 2017.

Sementara itu, untuk usaha kecil dan menengah (UKM) atau usaha dengan aset maksimal Rp 4,8 miliar, dikenai tarif 0,5 persen untuk wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampai Rp 10 miliar, dan 2 persen bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp 10 miliar. Pada APBNP 2016, pemerintah menargetkan penerimaan negara dari pengenaan tarif repatriasi dan deklarasi tax amnesty sebesar Rp 165 triliun. 


Editor: Rony Sitanggang

  • tax amnesty
  • Juru Bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama
  • #BisnisUMKM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!