BERITA

Pemerintah Indonesia Fokus "Investasi Gizi"

Pemerintah Indonesia Fokus "Investasi Gizi"

KBR, New York – Pemerintah Indonesia menegaskan akan terus fokus memperbaiki gizi anak ketika melaksanakan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mulai tahun depan. Pemerintah akan fokus pada periode kandungan hingga usia 2 tahun – periode 1000 hari kehidupan yang menjamin pertumbuhan selama hidupnya ke depan.

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, mengatakan saat ini anak bawah dua tahun (baduta) di Indonesia punya dua masalah gizi yakni anak stunting (pendek karena kurang gizi kronis) dan anak kegemukan – paket ini dikenal sebagai ‘beban ganda malnutrisi’. “Dampaknya memerlukan biaya besar dan merugikan kesehatan, perkembangan kognitif, serta produktifitas sumber daya manusia,” ujarnya dalam peluncuran "Global Nutrition Report 2015" di New York, pekan lalu.


Badan PBB untuk anak UNICEF mencatat, di Indonesia, ada lebih dari sepertiga anak Indonesia mengalami stunted.  Indonesia bahkan termasuk dalam lima besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika.


Anak yang stunted memiliki kemampuan bersaing di sekolah yang lebih rendah dibanding anak normal. “Salah satu global study menunjukkan mereka beresiko kehilangan 5-11 poin IQ. Akhirnya mereka tidak bisa bersaing untuk pekerjaan di masa depannya,” ujar Sri Sukotjo ahli gizi UNICEF Indonesia.


“Indonesia itu double burden. Anak sangat kurus banyak, dan yang obesitas juga banyak. Jumlahnya tak jauh beda sekitar 11-12 persen. Itu menyedihkan,” jelas Sri lagi.


Anak kegemukan juga jadi masalah besar ketika mereka dewasa. Kegemukan adalah faktor utama penyakit tidak menular yang kini jadi pembunuh utama di Indonesia. Dari setiap 10 kematian, enam di antaranya karena sakit jantung, stroke, dan  kanker – semuanya karena gaya hidup tidak sehat.  Menteri Kesehatan Nila Moeloek bahkan mengatakan, 30 persen uang BPJS terkuras oleh penyakit-penyakit itu, terutama stroke.

Menteri Kesehatan Nilla Moeloek


Nilla mengatakan beban ganda tersebut harus diselesaikan bersamaan. “Program harus secara bersama-masa mempromosikan makanan bergizi dan gaya hidup sehat,” jelasnya. Program tersebut antara lain mendorong kualitas diet yang baik, mencukupi kebutuhan energi dan nutrisi, dengan catatan mengurangi konsumsi lemak, sodium, dan gula.


Indonesia sudah meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi sejak 2013 dan terus berkembang. Kementerian Kesehatan untuk   2015-2019 menggelontorkan 48,2 miliar Rupiah untuk Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak. Angka ini tiga kali lebih besar dari Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan  yang diberi kocek 16,8 miliar Rupiah saja untuk periode yang sama.


Dana sebesar itu sebagian  digunakan untuk edukasi masyarakat. Kemenkes akan meluncurkan iklan nutrisi seimbang untuk anak baduta, juga memaksa restoran mencantumkan label kalori makanan mulai April tahun depan.


Kemenkes akan menggaet kementerian lain untuk program ini. “Termasuk upaya mempromosikan produksi buah, sayuran, dan kacang-kacangan,  khususnya produksi lokal. Lalu ketersediaan air bersih, sanitasi, dan kebersihan. Juga pemberdayaan perempuan,” tukas Nila lagi.


Lembaga kajian Copenhagen Consensus Center menyatakan investasi gizi adalah cara cerdas untuk menyelesaikan berbagai masalah: mulai dari kesehatan sampai kemiskinan – dan Indonesia sudah di jalur yang benar. “Anak-anak yang tercukupi gizinya akan jadi orang-orang yang berkontribusi lebih banyak dalam pertumbuhan ekonomi,” jelas Bjorn Lomborg, direktur organisasi ini. Para peneliti di lembaga tersebut menghitung investasi gizi akan menghadirkan keuntungan balik 45 kali lipat.

Editor: Rony Sitanggang

  • Lembaga kajian Copenhagen Consensus Cente
  • Bjorn Lomborg
  • Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
  • UNICEF
  • Global Nutrition Report 2015
  • Menteri Kesehatan
  • Nilla Moeloek
  • berita

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!