NASIONAL

2022-08-11T17:21:00.000Z

RKUHP, Pasal Bermasalah dan Pengabaian Publik

"Pemerintah dan DPR selama ini dianggap belum benar-benar mengakomodasi masukan dan saran terkait penyusunan RKUHP. Klaim pelibatan partisipasi publik hanya sebatas menampung dan mendengarkan. "

RKUHP
Mahasiswa berdemonstrasi menggugat RKUHP di DPRD Kalimantan Barat di Pontianak, Rabu (6/7/2022). (Foto: ANTARA/Jessica Helena)

KBR, Jakarta - Dewan Pers mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kemerdekaan pers.

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan pada draf terdahulu setidaknya delapan pasal di RKUP membahayakan kerja-kerja pers.

Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers di antaranya, pasal tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; pasal tentang Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;

Selain itu ada pasal mengenai Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara; tentang Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik dan pasal tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum.

"Setelah kita bahas di Dewan Pers, juga membentuk Tim untuk mengkaji itu, pada akhirnya kita menemukan dan menyimpulkan ada delapan pasal berbahaya yang mengancam kebebasan pers. Juga bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga mengancam demokrasi, mengancam konsolidasi demokrasi kita, membuat salah satu pilar demokrasi yaitu kebebasan pers menjadi susah sulit," kata Azra dalam kanal Youtube Dewan Pers, (16/7/2022).

Dewan Pers telah menyampaikan delapan poin yang mengancam kebebasan pers tersebut kepada DPR melalui bekas ketua DPR Bambang Soesatyo pada September 2019 lalu.

Namun, alih-alih masukan diakomodasi, kata Azra, dalam draf teranyar yang diserahkan pemerintah ke DPR, pasal-pasal RKUHP yang mengancam kebebasan pers justru bertambah.

"Setelah kita lihat kembali draf final yang di diserahkan pemerintah kepada DPR dan akan disahkan segera, pasal yang mengancam kebebasan pers malah nambah. Ada antara 10 sampai 12 dalam catatan saya. Lebih parah lagi, para jurnalis dan juga lembaga lembaga pers itu bisa menjadi delik kriminal. Mereka bisa dijatuhi hukuman kriminal. Tentu saja ini bertentangan undang-undang nomor 40/1999 mengenai pers," ujarnya.

Baca juga:

red

Pelibatan publik

Pemerintah mengklaim sudah memperbarui draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Draf itu sudah diserahkan ke DPR sejak awal Juli lalu.

RKUHP merupakan salah satu RUU yang masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2022. Namun sepertinya target DPR mengesahkan RKUHP pada bulan ini tidak terpenuhi, karena DPR baru akan kembali menggelar sidang pada 16 Agustus mendatang. Artinya, pengesahan RKUHP tidak bisa diburu-buru, karena RUU ini masih mendapat banyak sorotan publik.

Banyak pasal di RKUHP yang dianggap bermasalah. Sementara Pemerintah, jauh-jauh hari bertekad, hanya akan memprioritaskan pembahasan terhadap 14 isu krusial di RKUHP.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak pemerintah dan DPR perlu membuka ruang lebih luas melibatkan berbagai pihak termasuk lingkup pers. 

Anggota KKJ, Zaky Amani mengatakan selain untuk memastikan draft yang akan disahkan DPR tak lagi berisikan pasal-pasal bermasalah, pelibatan publik juga untuk menjawab kegelisahan masyharakat terhadap berbagai aturan ganjil dalam RKUHP.

"Karena publik kan ramai membicarakan RKUHP ini. Publik gelisah tentang isi RKUHP Ini seperti apa. Kita ingat 2019 kan keriuhannya begitu ramai bahkan sampai jatuh korban dalam aksi menentang RKUHP," kata Zaky dalam konferensi pers, Senin (18/7/2022).

Dorongan juga datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Aliansi meminta pemerintah tak hanya membuka ruang diskusi secara masif dan partisipasi masyarakat terkait RKUHP. 

Peneliti ICW yang juga bagian dari Aliansi, Kurnia Ramadhana mengatakan pemerintah harus bisa memastikan partisipasi tersebut didengarkan dan dipertimbangkan sebagai poin-poin perubahan RKUHP.

"Misalnya yang berkaitan langsung dengan isu pemberantasan korupsi, ada revisi Undang-undang KPK pada tahun 2019 yang lalu. Maka dari itu partisipasi di sini harus dipastikan, bukan hanya formalitas mendiskusikan, tapi apa hasil diskusi tersebut. Apa pendapat masyarakat. Itu mesti dituangkan dan dipertimbangkan sebagai poin-poin perubahan rancangan kitab undang-undang hukum pidana," kata Kurnia kepada KBR, Selasa (2/8/2022).

Baca juga:

Trauma publik

Kurnia Ramadhana mengatakan, selama ini masyarakat trauma dengan legislasi-legislasi yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR yang tidak melibatkan partisipasi publik di dalamnya.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta, pemerintah dan DPR bisa membuka ruang diskusi di kampus-kampus di seluruh provinsi di Indonesia dan melibatkan organisasi masyarakat sipil serta tokoh-tokoh lain dalam rangka membahas permasalahan yang ada di dalam RKUHP. 

"Bukan soal bagaimana mekanisme partisipasinya, tetapi memastikan partisipasi itu didengarkan dan dipertimbangkan," kata Kurnia.

Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai pemerintah dan DPR selama ini belum benar-benar mengakomodasi masukan dan saran terkait penyusunan RKUHP.

Menurut Bivitri Susanti, klaim pelibatan partisipasi publik yang dilakukan pemerintah dan DPR hanya konteks teknokratik dan teknikal. Artinya, hanya sebatas menampung dan mendengar masukan sejumlah pihak terkait tanpa mempertimbangkannya lebih lanjut.

"Bermainnya di berapa profesor yang diundang? Berapa kali konsultasi publik? Berapa orang yang datang dalam satu konsultasi? Esensi itu sendiri apakah masukan yang masuk itu dipertimbangkan sekali nggak sih? Jangan-jangan cuma oke-oke, manggut-manggut, lalu silahkan pulang, terus masukannya dibuang. Kenyataannya teman-teman yang mengadvokasi RKUHP mengalami hal itu," ujar Bivitri dalam Diskusi Bertajuk 'Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP?' secara daring, Kamis (4/8/2022).

Bivitri menambahkan, perumusan RKUHP semestinya melibatkan masyarakat yang terdampak dan punya kepentingan. 

Selain itu pihak-pihak yang memiliki hak untuk didengarkan usulannya, mendapatkan jawaban atas masukan-masukan yang mereka sampaikan.

"Jadi tidak bisa bilang, oh kami sudah mengundang 30 orang ahli, maka kami sudah membuka partisipasi seluas mungkin nanti dulu itu tadi, apakah misalnya kelompok kelompok rentan yang pasti punya kekhususan suatu UU diterapkan pada mereka itu sudah ditanya atau disimulasikan belum, itu seringkali tidak terjadi," tuturnya.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • RKUHP
  • Hukum Pidana
  • Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
  • Pers
  • kebebasan pers
  • Dewan Pers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!