BERITA

Mural, Simbol Negara dan Pembungkaman Kebebasan Berekspresi

"YLBHI menyebut selama pandemi Covid-19, pemerintah justru cenderung membungkam kritik masyarakat dan terkesan otoriter. "

Yovinka Ayu, Muthia Kusuma

Mural, Simbol Negara dan Pembungkaman Kebebasan Berekspresi
Ilustrasi.

KBR, Jakarta - Kasus mural atau lukisan dinding bergambar wajah mirip Jokowi di Tangerang Banten mengundang sorotan banyak pihak. 

Kalangan istana memprotes mural itu, dan ujungnya mural kritik itu dihapus. Sedangkan pembuatnya diburu polisi. Kalangan aktivis menilai kasus itu menggambarkan pembungkaman kebebasan berekspresi.

***

Presiden Joko Widodo memberi perhatian pada banyak kritik yang ditujukan padanya, terutama pada hal-hal yang belum diselesaikan pemerintah. 

Hal itu disampaikan Jokowi saat pidato kenegaraan di kompleks Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, awal pekan ini.

"Kritik yang membangun itu sangat penting, dan selalu kita jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat. Terima kasih untuk seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif, dan terus ikut membangun budaya demokrasi," kata Jokowi dalam Pidato Kenegaraan, Senin (16/8/2021).

Namun di lapangan, kritik tak selalu ditanggapi positif. Tanggapan pemerintah terhadap kasus mural atau lukisan dinding bergambar mirip Jokowi justru sebaliknya. 

Di mural itu ada pita merah yang menutup mata sosok mirip Jokowi, bertuliskan istilah di internet yang artinya, tidak ditemukan atau ada kesalahan.

Gambar dinding itu lantas ramai dan mengundang beragam komentar. Termasuk dari Istana, meski yang dipersoalkan adalah izin pembuatan mural itu. 

Belakangan, aparat menghapus mural itu dengan cara mengecat hitam tembok tanpa sisa. Polisi juga memburu pembuat mural.

Baca juga:

Berlebihan

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menyayangkan sikap aparat kepolisian yang menghapus mural di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang. 

Menurut Bambang, mural itu tidak secara eksplisit itu menunjuk kepada Presiden Jokowi. Sehingga, pembuat mural tersebut tak seharusnya diburu oleh polisi.

“Ini over reaktif kepolisian dan menunjukkan bahwa kawan-kawan di kepolisian ini mentalnya masih asal bapak senang, yang kemudian bersifat destruktif dalam membangun demokrasi di negara kita ini. Makanya SDM kepolisian ini harus ditingkatkan bagaimana cara berpikir demokratis yang benar, dan jangan stagnan di pola-pola berpikir orde baru,” kata Bambang kepada KBR, Minggu (15/8/2021).

Bambang juga mengkritik polisi yang menyatakan Presiden Jokowi adalah lambang negara. 

Bambang meminta kepolisian dapat menyikapi tindakan pembuatan mural dengan lebih positif dan humanis. Hal ini guna menghindari terjadinya kehebohan yang tidak perlu di tengah pandemi.

Otoritarian

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menyatakan konstitusi menjamin masyarakat bebas menyampaikan pendapat di muka umum dalam negara demokrasi ini.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan aksi aparat yang memburu pelaku pembuat mural tersebut merupakan tindakan yang memalukan.

"Tindakan-tindakan tersebut jelas tidak melanggar konstitusi, jelas tidak melanggar undang-undang tentang penyampaian pendapat di muka umum. Jelas dia bagian tindakan otoritarian. Tindakan yang membungkam ekspresi masyarakat tindakan yang membungkam kebebasan masyarakat," ucap Isnur kepada KBR, Minggu, (15/8/2021).

Baca juga:

Simbol negara

Isnur mengatakan mencatat selama pandemi Covid-19 pemerintah justru cenderung membungkam kritik masyarakat dan terkesan otoriter. 

Ia mencontohkan kasus pembungkaman kritik yang dialami Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia setelah melontarkan kritik presiden sebagai king of lip service atau raja pembual.

"Selama pandemi, temuan YLBHI pemerintah malah memilih membungkam masyarakat misal PK Jubir Presiden mengungkap darurat sipil lalu Menko PMK darurat militer kemudian respon kepolisian sempat mengeluarkan surat telegram tentang isu mengangkat kembali penghinaan terhadap presiden yang sudah dihapus oleh MK," kata Isnur kepada KBR, Minggu (16/8/2021).

Ia juga mengkritik aparat kepolisian yang kerap bermasalah dalam menangani kritik terhadap pemerintah. Dia mendorong agar aparat tidak membungkam masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Isnur mengatakan, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 35, 36, 36A dan 36B menyatakan yang termasuk simbol negara adalah bendera, lambang garuda, bahasa dan lagu kebangsaan. Ada larangan menghina simbol-simbol negara itu. Sementara Presiden merupakan kepala negara yang harus siap dikritik terutama terkait komitmen atau janji-janjinya.

Editor: Agus Luqman

  • kebebasan berekspresi
  • kebebasan berpendapat
  • mural kritik jokowi
  • demokrasi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!