BERITA

MPR Ingin Hidupkan GBHN Lagi, Apa Urgensinya?

MPR Ingin Hidupkan GBHN Lagi, Apa Urgensinya?

KBR, Jakarta- Sejumlah politisi mulai menyatakan dukungan untuk wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 

Draft amandemen UUD 1945 tentang pemunculan kembail GBHN ini sudah diubat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak beberapa bulan lalu. 

Drafnya sudah diserahkan ke masing-masing fraksi, dan akan dibahas lagi dalam rapat penutupan masa akhir jabatan MPR pada 27 September 2019 mendatang.

Salah satu politisi yang menyatakan dukungan misalnya Sekjen Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto.

"Amandemen yang kita perlukan adalah amandemen yang bersifat terbatas, berkaitan GBHN," kata Hasto seusai Kongres V PDIP di Bali, seperti dikutip Antara, Sabtu (10/8/2019).

Dukungan serupa datang dari politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Jamil.

"Menurut saya, Indonesia penting memiliki panduan arah pembangunan nasional jangka panjang yang mirip GBHN, tapi nanti namanya bukan GBHN, misalnya untuk 50 tahun atau 25 tahun. Memuat panduan arah pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, ideologi, dan sebagainya," kata politisi PKS Nasir Jamil di Jakarta, seperti dikutip Antara, Jumat (9/8/2019).

"Meskipun presidennya ganti, tapi arah pembangunan nasional tetap dilanjutkan," ujar Nasir.

Akademisi: GBHN Tidak Urgen

Wacana soal pemunculan kembali GBHN sudah dilontarkan dan dikaji berbagai pihak sejak bertahun-tahun lalu. Salah satunya oleh Mudiyati Rahmatunnisa, staf pengajar Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran.

Dalam makalah yang ia sampaikan di Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2013),  Murdiyati menjelaskan, sesungguhnya substansi GBHN sudah bisa digantikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

Ia juga menilai, sistem RPJPN yang berlaku sejak era reformasi sudah cukup ideal.

"Nilai lebih yang dimiliki sistem dan dokumen perencanaan pembangunan pada era reformasi (RPJPN) adalah adanya kesempatan kepada daerah untuk bisa menggali berbagai potensi dan keunggulan daerah masing-masing, untuk bersinergi dengan 'rencana induk' yang tertuang dalam RPJP," jelas Murdiyati.

"Urgensi untuk menghidupkan kembali GBHN menjadi tidak justified, karena keberadaannya telah terwujud dalam RPJPN," jelasnya lagi.


RPJPN Sulit Dievaluasi dan Tidak Berpola

Meski RPJPN sudah bisa menggantikan GBHN, Murdiyati mengakui kalau masing-masing sistem tetap punya kelemahan. Untuk sistem RPJPN, salah satu kelemahannya adalah sulit dievaluasi.

"Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di level nasional, RPJMN, Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang sudah merujuk kepada RPJP," jelas Murdiyati.

Sistem perencanaan di era reformasi juga rentan "diabaikan" oleh pemerintah daerah. Pasalnya, masing-masing Kepala Daerah bisa membuat rencana pembangunan yang berbeda dari rencana jangka panjang Presiden.

"Banyak pihak menilai proses pembangunan (era reformasi) seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hampir tidak terjadi pada era sebelumnya (orde Baru), ketika GBHN merupakan rujukan utama perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun di daerah," jelas Dra. Murdiyati.


RPJPN Tidak Memberi Ruang untuk MPR

Selain sulit dievaluasi dan rentan "diabaikan", RPJPN tidak memberi ruang bagi MPR untuk terlibat dalam rencana pembangunan nasional.

Kewenangan MPR pun menjadi sangat minim dan cenderung terbatas pada tugas-tugas yang bersifat seremonial saja, seperti melantik Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, Murdiyati menilai, penguatan peran MPR tidak mesti dilakukan dengan menghidupkan kembali GBHN. Pemerintah juga bisa merumuskan ulang wewenang MPR seraya memperbaiki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang berlaku sekarang.

"Jika ingin menguatkan peran MPR dalam SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), maka langkah pertama yang perlu diambil adalah mengajukan amandemen UUD 1945," jelas Murdiyati.

"Langkah selanjutnya adalah mengkonstruksi fungsi dan peran serta wewenang yang tepat untuk lembaga MPR, sehingga tidak tumpang tindih dengan fungsi dan peran lembaga Negara yang lain dalam SPPN," tambahnya.

Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • MPR
  • Ketua MPR
  • GBHN
  • RPJPN
  • RPJMN

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!