BERITA

Komnas HAM: Presiden Harus Pimpin Perdamaian Papua

Komnas HAM: Presiden Harus Pimpin Perdamaian Papua
Presiden Jokowi dalam konferensi pers rencana pemindahan Ibu Kota di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong Presiden terlibat langsung mengatasi permasalahan di Papua.

"Usulan kita, dari awal pendekatan dialog perdamaian langsung dipimpin oleh bapak Presiden," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada KBR, Jumat (30/08/19).

Ahmad Taufan Damanik menegaskan gejolak di Papua tidak semata-mata terjadi karena isu rasisme, tapi ada masalah lain yang lebih kompleks.

"Satu kejadian di Surabaya seperti itu langsung memantik kemarahan yang luar biasa. Itu kan karena memang ada akar masalah di sana, dan akar masalah itu tidak bisa diselesaikan dengan parsial, harus pendekatan yang terintegrasi langsung, dipimpin oleh pemimpin nasionalnya, Presiden dan Wakil Presiden," jelas Ahmad.


Baca Juga: Peneliti LIPI: Dana Otsus Tak Bisa Redam Konflik Papua 


Empat Akar Masalah Konflik Papua

Jauh sebelum Papua bergejolak seperti sekarang, peneliti LIPI Muridan S. Widjojo, yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Papua LIPI, sudah menjabarkan empat akar masalah konflik Papua.

Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. "Orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Itu harus dibicarakan," jelas Muridan, seperti terdokumentasi di situs resmi LIPI.

Kedua, masalah operasi militer. Operasi militer di Papua sejak tahun 1965 hingga sekarang membuat masyarakat Papua punya banyak pengalaman buruk tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM.

"Itu membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia. Luka kolektif itu terpendam lama dan selalu mereka sosialisasikan itu di honai-honai," jelas Muridan.

Ketiga, masalah marjinalisasi orang Papua. "Dengan migrasi, pembangunan, dan lain-lain yang tidak melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir," jelasnya.

Dan terakhir, kegagalan pembangunan Papua. Menurutnya, indikator kegagalan bisa dilihat dengan jelas di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. 

"Kenyataan di Papua, mudah sekali menemukan sekolah yang tidak berjalan proses belajar mengajar karena tidak ada guru, dan juga puskesmas yang kosong karena tidak ada tenaga medis dan obat-obatan," pungkas Muridan.


Editor: Friska Kalia

  • konflik papua
  • papua merdeka
  • papua
  • Papua Barat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!