BERITA

Catatan Jurnalis KBR, Mengungsi di Kuburan Akibat Gempa Lombok

Evakuasi korban gempa Lombok (Foto: Zainudin Syafari/KBR)

KBR, Jakarta - Sampai hari ini, Rabu (8/8/2018) telah terjadi 318 kali gempa susulan pascagempa Lombok, Nusa Tenggara Barat pada hari Minggu (5/8/2018) lalu. Pemerintah kini memprioritaskan pembangunan fasilitas sanitasi dan air bersih untuk pengungsi. Salah satu pengungsi adalah kontributor KBR dari Radio Global FM, Lombok. Berikut adalah catatan yang dibuat oleh Zainudin Syafari dari lokasi pengungsian di sebuah tanah lapang yang adalah kuburan.

Catatan Kecil Gempa Lombok

Tanah di Lombok tiba-tiba saja bergetar hebat. Saat itu hari Minggu jam menunjukkan pukul 19.46 Wita. Saya sedang berada di tempat kerja, baru saja selesai periksa halaman yang sudah dibuat tim lay out. Dalam hitungan detik, orang orang berhamburan keluar dari gedung yang bergemuruh. Mereka mengambil sikap merunduk menghindari material yang berpotensi jatuh.

Suara getaran bumi bercampur dengan teriakan dari orang-orang yang histeris. Yang saya lihat adalah wajah-wajah panik. Kalimat takbir dan istighfar bersahut-sahutan. Ada juga saya lihat orang bersimpuh di aspal sambil memanjatkan doa keselamatan.

Tiba-tiba gelap gulita. Listrik seantero Lombok padam. Teriakan dari orang-orang yang cemas semakin terdengar nyaring. Teman yang kebetulan membawa smartphone mencari kabar soal gempa ini. Dia berteriak, kekuatannya 7.0 SR. Berpotensi timbulnya tsunami pula. Emosi semakin bercampur aduk, karena banyak keluarganya yang tinggal di pesisir pantai. Termasuk saya yang bertempat tinggal hanya berjarak 200 meter dari bibir pantai di Kota Mataram.

Yang hanya dalam pikiran adalah bagaimana nasib anak dan istri saya jika air laut akan naik dan menghempas daratan. Saya memencet tombol HP berkali-kali. Tidak kunjung nyambung. Sekali tersambung tak juga diangkat. Saya berpikir hal terburuk; mungkin istri dan dua anak perempuan saya terkena reruntuhan bangunan.

Saya coba telpon untuk kesekian kalinya, akhirnya diangkat. Istri saya langsung menangis. Saya bersyukur, dia masih "baik-baik saja". Dia bercerita sempat jatuh tiga kali saat berusaha menyelamatkan di bungsu usia 3,5 tahun. Sementara si sulung sudah lebih dahulu berlari menyelamatkan diri keluar rumah saat bumi bergoyang.

Dari tempat kerja, saya memacu kendaraan di tengah jalanan yang gelap. Di jalan protokol ternyata jalanan sudah meluap, padat merayap dan penuh sesak. Tiba-tiba orang berteriak air laut sudah naik. Laju kendaraan lebih banyak ke arah timur. Mereka menjauh dari pantai.

Sialnya, saya memacu kendaraan ke arah barat. Berebut jalan mendekati pantai. Bukan tanpa alasan. Di dekat bibir pantai itulah saya mendirikan rumah. Hanya satu di benak saya; saya ingin menyelamatkan anak istri saya di rumah. Itu saja. Jikapun saya sudah sampai rumah dan bertemu dengan keluarga dan akhirnya digulung air laut, saya pasrah karena itu adalah takdirNya.

Tiba di rumah. Keluarga yang saya cari tidak ada. Saya rogoh kantong berisi HP. Ada pesan masuk. Ternyata mereka sudah dijemput oleh kakak pakai kendaraan lain. Alhamdulillah.

Saya memacu kendaraan menjauhi pantai, menuju arah timur. Sialnya jalanan sudah macet total. Bunyi klakson bertalu-talu. Bersahut sahutan. Orang- orang saling bertanya ; air laut sudah sampai mana? Berapa meter tingginya? Tak ada jawaban. Tiba-tiba bangunan dan pohon bergoyang, ternyata gempa susulan. Kekuatannya 5,6 SR. Saya sibuk lihat kiri kanan untuk cari bangunan bertingkat. Jika saja tsunami benar adanya, saya akan langsung memanjat ke lantai dua atau lantai tiga bangunan rumah yang ada di pinggir jalan.

Sejengkal demi sejengkal, saya sudah cukup jauh dari bibir pantai. Syukur tsunami yang dikhawatirkan itu tak muncul. Saya merapat ke lapangan Lanud Rembiga Mataram tempat anak dan istri saya berkumpul bersama ribuan pengungsi. Saya menghabiskan malam di lapangan luas itu beratapkan kolong langit. Anggota TNI sangat sigap. Mereka mulai sibuk mendirikan tenda darurat. Namun jumlah tenda tak mampu menampung ribuan pengungsi yang terus berdatangan. Cuaca dingin menyengat sampai tulang. Tak ada selimut, tak ada sarung dan tak ada makanan.

Mengungsi di Kuburan

Setelah melewati malam yang dingin dan dihantui gempa susulan yang bertalu-talu, saya pulang ke rumah keluarga pada Senin pagi. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah warga yang rusak. Mereka telah melewati malam yang horor. Namun saya tak berani masuk ke rumah. Tanah lapang adalah tempat yang paling aman untuk berlindung. Nah tanah yang lapang itu hanya di lahan kuburan samping kompleks perumahan. Saya pun mendirikan tenda di kuburan dekat rumah keluarga itu.

Siang hari selepas zuhur, puluhan warga kampung sebelah mengantar jenazah seorang yang meninggal karena shock mendengar isu tsunami pada malam gempa itu. Jadilah kami mengungsi di dekat kuburan yang baru saja diisi jenazah. Jarak tenda saya dengan liang lahat itu hanya 7 meter. Tak ada rasa takut, karena yang terpenting adalah keamanan.

Saat saya menulis coretan sederhana ini, bumi Lombok terus saja bergetar. Bumi bergoyang di sekujur pulau. Menciutkan nyali kami yang masih menggigil.

  • gempa NTB
  • gempa lombok
  • gempa

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!