BERITA

Dugaan Korupsi Helikopter AW 101, Tersangka: Sesuai Prosedur

""Surat-surat ya melalui jalur organisasi yang ada. Misalnya kami kirim surat ke Kemenhan, pasti Mabes TNI juga dikirimi.""

Sasmito, Bambang Hari

Dugaan Korupsi  Helikopter AW 101,  Tersangka: Sesuai Prosedur
Ilustrasi: Helikopter AW 101 (sumber: Setkab)

KBR, Jakarta- Tersangka dugaan korupsi pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 Marsekal Muda Supriyanto Basuki menilai penetapan tersangkanya pada Jumat, 4 Agustus 2017, janggal. Ia mengatakan penetapan tersangka semestinya dilengkapi dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 yang dilakukan dirinya saat menjabat Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI Angkatan Udara sudah sesuai prosedur.

"Surat-surat ya melalui jalur organisasi yang ada. Misalnya kami kirim surat ke Kemenhan, pasti Mabes TNI juga dikirimi. Kalau misalkan beliau (Panglima TNI) tidak tahu, ya paling tahu beliau sendiri. Saya tidak bisa memvonis beliau. Tapi suratnya semuanya lengkap dan bisa dilihat," jelas Supriyanto Basuki, Selasa (15/8/2017).


Supriyanto Basuki menuturkan belum menerima surat penetapan tersangka dari Puspom TNI. Menurutnya, ia justru mengetahui penetapan tersangka dirinya melalui media massa.


"Dan yang perlu menjadi catatan, sampai sekarang saya belum menerima surat resmi sebagai tersangka. Belum sampai sekarang. Jadi sejak penetapan melalui pers rilis tanggal 4 Agustus, saya belum menerima suratnya. Tidak tahu disimpan di POM TNI atau bagaimana," imbuhnya.


Ia juga mempertanyakan perhitungan sementara kerugian negara sebesar Rp 220 miliar yang ditudingkan dalam proyek senilai Rp 738 miliar ini. Menurutnya, harga helikopter standar memang berkisar Rp 500 miliar. Namun, masih dibutuhkan biaya tambahan lain seperti pelatihan pilot dan teknisi, suku cadang, peralatan khusus dan umum serta lainnya yang membuat harga helikopter AW 101 menjadi Rp 742 miliar.


"Kita tidak tahu mereka menghitung selisih dari mana. Yang kita tahu bahwa nilai kontrak terdiri dari pesawat dan pendukungnya. Baik itu suku cadang, pelatihan, penempatan teknisi mereka selama 2 tahun dan lain-lain."


Supriyanto menambahkan kontrak pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 dengan PT. Diratama Jaya Mandiri (DJM) juga belum selesai dilakukan. Sehingga menurutnya, mustahil sudah dapat diketahui nilai kerugian.


Dalam paper yang diterima KBR, pembelian satu unit heli AW 101 untuk kebutuhan VVIP didasarkan pada Surat Menteri Keuangan Nomor S-564/MK.02/2015 tanggal 27 Juli 2015 (Tentang Pemutakhiran Pagu Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2016) dan Surat Kementerian Pertahanan No B/1266/18/05/5/Dirjen tanggal 28 Juli 2015 (Tentang Pemutakhiran Pagu Anggaran Kemhan dan TNI TA 2016).


Pada surat Kemhan tersebut disebutkan bahwa pengadaan Helikopter VVIP Presiden sebesar Rp. 742.500.000.000.00, masuk sebagai tambahan penyesuaian anggaran prioritas.


Namun dalam rapat kabinet terbatas tanggal 3 Desember 2015, pembelian helikopter AW 101 VVIP dibatalkan dengan alasan ekonomi. Anggaran pengadaan heli tersebut dalam posisi blokir berdasar surat Kemkeu No.S-868/MK.02/2015 tentang Penyampaian Pagu Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga TA.2016.


Merespon hal tersebut, Kasau saat itu Marsekal Agus Supriyatna mengajukan usulan perubahan pengadaan heli VIP/VVIP menjadi heli angkut berat kepada Dirjen Renhan Kemhan, melalui surat No B/101-09/20/61/Srenaau tertanggal 25 Januari 2016.


Pengadaan heli angkut kemudian dilakukan TNI AU setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan, melalui Surat pengesahan DIPA Petikan TA 2016 Nomor : SP DIPA-012.24.1.579297/2016 (Kode digital stamp 2945-8105-9039-3697 Revisi ke 04 tanggal 27 Juni 2016).


Surat tersebut melepas tanda blokir pengadaan helikopter TA 2016 sebesar Rp. 742.500.000.000,-. Sehingga pengadaan heli angkut tersebut dilanjutkan TNI AU.


Selanjutnya, pada   14 September 2016, KASAU menerima surat dari Panglima TNI mengenai perintah pembatalan kontrak pembelian heli AW 101 No. B/4091/IX/2016. Panglima mengeluarkan perintah tersebut berdasarkan risalah rapat kabinet terbatas No. R/288/Seskab/DKK/12/2015, bahwa arahan presiden terkait pembelian heli AW 101 adalah apabila kondisi ekonomi sudah normal maka pembelian heli AW 101 dapat dilakukan dan pembelian heli AW 101 agar dilakukan dalam kerangka Government to Government (G to G).


Kendati demikian, prosedur pelaksanaan pengadaan helikopter melalui PT. Diratama Jaya Mandiri (DJM) terus berjalan sejak 7 Oktober 2016 sampai kedatangan helikopter tersebut pada  Januari 2017.


Pada  29 Desember 2016, Panglima TNI membuat surat perintah kepada KASAU untuk membentuk tim investigasi soal pembelian heli AW 101. Panglima TNI kemudian menjalin kerjasama dengan Polri, BPK, PPATK dan KPK untuk mengusut pembelian helikopter tersebut pada 24 Februari 2017.


Pada 26 Mei 2017, Panglima TNI bersama Ketua KPK dan KASAU menyebutkan ada 3 tersangka terkait pembelian heli AW 101, diantaranya Marsma FA, Letkol WW dan Pelda SS. Pernyataan tersebut disampaikan di Gedung KPK.


Panglima menyebutkan negara berpotensi merugi Rp 220 miliar dalam pembelian helikopter dengan nilai proyek Rp 738 miliar.


KPK kemudian menetapkan tersangka dari kalangan sipil yakni Dirut PT. Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai pihak ketiga yang mengadakan pembelian heli AW 101 pada 16 Juni 2017.


Bersamaan dengan itu, Dan Puspom TNI pun menyampaikan adanya satu tersangka baru yakni Kolonel FTS sebagai Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU. Sehingga sampai saat ini sudah ada setidaknya 4 tersangka dari TNI AU dan 1 dari sipil dalam dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian heli AW 101. Puspom TNI juga pada perkembangan nya melakukan blokir atas rekening dari PT DJM sebesar Rp. 139 Miliar.


Sementara itu  Urbanisasi  Kuasa hukum Supriyanto Basuki mengklarifikasi tudingan adanya kerugian negara sebesar 220 miliar rupiah. Menurut dia, dana tersebut memang sengaja tidak dicantumkan secara detil lantaran menyangkut kerahasiaan negara. Sebetulnya dana yang disebut sebagai potensi kerugian negara itu merupakan bagian dari pendukung pesawat, yang sudah menjadi bagian dari kontrak.

Kata dia, ada sembilan item yang memang tidak disertakan dalam rilis--yang merupakan bagian dari pendukung pesawat jenis helikopter itu. Bagian-bagian tersebut kata dia, tidak disebutkan secara rinci lantaran dianggap sebagai rahasia negara.   

"Kok sampai ada muncul angka 220 miliar rupiah nilai kerugiannya. Ada sembilan item di dalamnya yang belum dirilis oleh mereka, tapi itu melekat dalam sebuah perjanjian atau pengerjaan barang dan jasa ini. Nah nilainya itu kurang lebih 220 miliar. Itulah penyebab ada tudingan lost sebesar jumlah tersebut. Padahal itu bukan lost/kerugian, tapi memang ada 9 item yang memang tidak boleh disebutkan atau diceritakan kepada masyarakat karena itu adalah rahasia pertahanan," kata dia.


Urban juga sempat mempertanyakan tudingan kerugian negara yang dianggapnya tidak memiliki alat bukti yang sah. Sebab, potensi kerugian negara umumnya baru diketahui setelah adanya audit investigasi yang menelusuri mengenai pembelian barang yang termasuk dalam alat utama sistem persenjataan itu.


"Yang kami ketahui, BPK baru melakukan audit setelah pengumuman tersangka oleh Panglima TNI. Sedangkan jumlah kerugian negaranya sudah disebut di awal," kata dia.


Editor: Rony Sitanggang

  • heli AW 101
  • Marsekal Muda Supriyanto Basuki

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!