BERITA

Pasca Uji Materi UU Pengadilan HAM, Kontras Desak Jokowi Terbitkan Kepres

Pasca  Uji Materi UU Pengadilan HAM, Kontras Desak Jokowi Terbitkan Kepres



KBR, Jakarta-  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tidak memiliki alasan kuat untuk menunda kelanjutan proses hukum kasus pelanggaran HAM 98. Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Yati Andriyani, mengatakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan uji materi  kemarin jelas menunjukkan proses saling lempar yang dilakukan Kejagung dan Komnas HAM.

Kontras menilai tindakan itu telah melanggar hak konstitusi korban dan keluarganya. Mereka mendesak Kejagung segera memulai proses penyidikan.

"Kejagung dan Komnas harus menggunakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk segera menghentikan praktik bolak-balik berkas yang tidak berkesudahan ini. Karena bolak-balik berkas ini terus dilanjutkan, selain melanggar putusan MK, dia juga akan menciptakan ketidakpastian hukum kepada korban yang berakibat pada pelanggaran hak konstitusional," ujar Yati di kantor Kontras, Rabu (24/8).


Sejak  2015 lalu, dua perwakilan orang tua korban 98 yakni Paian Siahaan dan Ruyati Darwin mengajukan gugatan uji materi  ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat pasal 20 ayat 3 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal itu menyebutkan bahwa dalam kondisi penyidik berpendapat hasil penyelidikan masih kurang lengkap, penyidik bisa mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari.


Pasal ini dinilai melanggar hak konstitusional korban dan keluarganya karena tidak ada keterangan lebih jauh soal frasa "kurang lengkap". Selain itu, tidak ada pengaturan lebih jauh jika proses bolak-balik berkas kasus terjadi.


Kemarin, MK memutuskan bahwa pasal tersebut tidak merugikan korban maupun keluarganya. Namun, dalam pertimbangan MK, disebutkan bahwa ada celah merugikan korban yang belum diatur dalam undang-undang tersebut. Selain itu, penerapan pasal tersebut oleh Kejagung dan Komnas HAM dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum.


Sejak   2003, setidaknya sudah tiga kali berkas kasus 98 berputar dari Kejagung ke Komnas HAM. Keduanya saling lempar tanggungjawab. Yati mengatakan selama ini alasan yang diberikan Kejagung maupun Komnas HAM berubah-ubah.


"Misalkan yang disebutkan, alasan mereka tidak bisa melakukan penyidikan karena belum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Atau alasan lain yang sering mereka kemukakan adalah belum terpenuhinya alasan formil mulai dari sumpah jabatan, dan lain-lain."


Menyikapi putusan tersebut, pihak penggugat yakni Paian Siahaan berharap Kejagung dan Komnas HAM mau membuka diri untuk bekerjasama menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.


"Alasan mereka selama ini tidak jelas dan sebenarnya mereka hanya menghindar untuk menyelesaikan kasus ini. Dan kami akan memikirkan langkah lebih lanjut agar Komnas dan Kejagung dapat menyelesaikan ini. Karena sesuai keputusan dari MK ini, mereka sudah ranahnya ranah politik," ujar Paian.


Dorongan politik yang lebih kuat dianggap perlu untuk membantu penyelesaian proses hukum. Kordinator Divisi Pemantauan Impunitas, Feri Kusuma, mendesak Presiden Joko Widodo untuk membuktikan janji kampanyenya.


"Presiden dalam hal ini yang punya kewenangan untuk menginstruksikan Kejagung melakukan penyidikan. MK mengafirmasi bahwa persoalan bolak-balik berkas belum dilakukan penyidikan itu ranah dan tanggung jawab Kejagung. Putusan ini jadi ukuran penting bagi Jokowi untuk menunjukan janji politiknya, komitemennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat," kata Feri.


Kontras meminta Jokowi segera menurunkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Pasalnya, pembentukan pengadilan ini sudah pernah direkomendasikan oleh DPR dengan surat resmi tertanggal 20 September 2009.


Mereka juga mendorong DPR aktif mengkritisi proses penyelesaian kasus ini. Feri menilai selama ini, DPR lembek terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.


Dengan adanya keputusan ini, Kontras dan keluarga korban juga meminta DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM untuk merevisi pasal 20 ayat 3 Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Ini harus dilakukan agar ada pengaturan lebih jelas bagi pencari keadilan di masa yang akan datang.


Editor: Rony Sitanggang

  • Uji Materi UU Pengadilan HAM
  • Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras
  • Yati Andriyani
  • Paian Siahaan dan Yati Ruyati

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!