BERITA

Batal Gabung ISIS, Akbar Maulana: Jihad Tak Harus Angkat Senjata

"Film "Jihad Selfie" mencari tahu kenapa ada banyak anak muda yang berminat ikut ISIS. "

Aika Renata

Film Jihad Selfie menelusuri kenapa orang tertarik ikut ISIS. (Foto: Noor Huda Ismail)
Film Jihad Selfie menelusuri kenapa orang tertarik ikut ISIS. (Foto: Noor Huda Ismail)

KBR, Jakarta – Anak muda mana yang tak ingin tampil keren? Teuku Akbar Maulana (16) juga begitu. Remaja asal Aceh ini masih dalam masa pencarian jati diri lantas mencari ajang eksis di media sosial.

Awalnya adalah rasa galau.

“Banyak hal bikin galau. Misalnya, pelajaran begini-begini saja, apalagi waktu itu masih kelas 1 SMA,” kata Akbar di program Ruang Publik KBR, Senin (1/8/2016). Saat itu ia bersekolah di Imam Katip High School (setingkat Madrasah Aaliyah) di Kayseri, Turki, berbekal beasiswa.

Akbar lantas berpaling ke situs media sosial, Facebook. Di sana ia bertemu hal-hal baru. “Muncullah Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Pengen berperang, angkat senjata,” kenang Akbar.

Kata Akbar, anak muda itu suka tantangan. Berbagai unggahan di Facebook dan media sosial lainnya menunjukkan ada tanggapan dan ‘like’ yang tidak sedikit untuk gambar pejuang ISIS. Iming-iming yang ditawarkan untuk jadi pejuang ISIS oleh kakak kelasnya yang sudah lebih dulu bergabung di ISIS, tak tanggung-tanggung: uang saku, makan enak, dan tentu ada yang ini: kemungkinan untuk mati syahid.

“Maskulinitasnya muncul. Kakak kelas di sana itu megang AK-47, kesannya keren.” 

Akbar bukan satu-satunya yang tergiur untuk pergi ke Suriah dan angkat senjata dengan bendera ISIS. Tiga teman Akbar juga punya pemikiran yang sama.

“Hanya perlu siapkan uang 50 lira atau 500 ribu rupiah untuk berangkat menyeberang ke Suriah. Dari tempat saya dekat ke perbatasan, hanya sekitar 5 jam naik bus. Ada pendaftaran juga yang dibuka,” tutur Akbar.

Akbar nyaris berangkat. Ia merasa curiga dengan tafsir Al Quran yang dilakukan oleh ISIS tak sesuai dengan Islam yang dia kenal. Selain itu, kedekatan emosional nya dengan orang tua dan keluarga membuat Akbar berpikir ulang untuk berangkat ke Suriah. Meski agar tak khawatir pada rencananya itu, ia tak menceritakan hal ini pada keluarganya.

"Tafsir yang tidak masuk akal. Misalnya, jihad tanpa izin orang tua diperbolehkan. Sedangkan di hadits disebutkan, ridho Allah tergantung ridho orangtua. Ya, itu bukan jalan kita", kata Akbar.

Akbar mencoba menggali lebih dalam informasi soal ISIS dan akhirnya membatalkan niatnya bergabung dengan ISIS. Sementara tiga temannya tetap berangkat, lantas tewas dalam sebuah insiden bom bunuh diri. 

Film ‘Jihad Selfie’

Kisah Akbar inilah yang kemudian menginspirasi pembuatan film dokumenter ‘Jihad Selfie’. Sutradaranya adalah Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasati Perdamaian, lembaga yang membantu para mantan kombatan untuk kembali berintegrasi kembali ke masyarakat. Huda bermaksud menyoroti fenomena perekrutan remaja dan pemuda sebagai pejuang ISIS lewat media sosial.

Menurut Huda, selama ini kelompok teroris sudah diketahui dan merekrut anggota secara diam-diam. Namun, sekarang modus ini bergeser kini mengikuti zaman dengan secara terbuka ber-"kampanye" di dunia maya. 

"Ini ada sebuah cluster. Anak-anak itu pintar, berprestasi, hapal Al Quran, menang olimpiade, tapi tergiur juga dengan ISIS. Muncul gambar-gambar pertempuran yang menggugah maskulinitas untuk kemudian bergabung," pungkas Huda.

"Semangat saya bikin film ini adalah mencoba melihat isu terorisme tidak hanya dari kacamata keamanan. Tapi dengan pendekatan sosial. Ya itu soal pencarian jati diri anak muda, kemudian bagaimana mendorong mereka untuk berprestasi bukan dengan pendekatan jadul (jaman dulu),” kata Huda di program Ruang Publik, Senin (1/8/2016).

“Kampanye ISIS itu keren banget dan ngalahin kampanye yang kita punya. Film ini bukan cuma kampanye deradikalisasi tapi kampanye digital literacy. Bagaimana cerdas menyikapi informasi digital terutama sosial media," lanjut penerima Ashoka Award 2013 ini.

Radikalisme 

Data Wahid Institute (WI) mencatat, sedikitnya setengah juta orang pernah terlibat dalam aksi radikalisme di Indonesia. Hal itu berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan, bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2016.

Baca juga: Wahid Institute: 500 Ribu Orang Pernah Terlibat Radikalisme

Direktur WI, Yenny Zannuba Wahid mengatakan, data hasil survei cukup mengejutkan. Di situ terungkap bahwa masih banyak warga yang belum bersikap toleran terhadap sesama agama atau dengan agama lain. Dari data itu, responden mengaku pernah berpartisipasi melakukan aksi kekerasan atas nama agama.

"Hasilnya cukup mengejutkan. Tapi ada kabar baik dan kabar buruk. Kabar buruknya ya itu, sedikitnya ada 0,4 persen dari masyarakat Indonesia yang telah melakukan radikalisme. Selain itu, ada potensi sebesar 11 juta warga Indonesia yang siap melakukan kegiatan radikalisme," katanya saat meluncurkan Laporan Hasil Survey Nasional “Potensi Radikalisasi & Intoleransi Sosial–Keagamaan di Kalangan Muslim di Indonesia," Senin (1/8/2016) lalu.

Hubungan orangtua dan anak 

Hubungan kedekatan dengan orang tua dan keluarga, lanjut Huda, sangat penting. Dalam film “Jihad Selfie" digambarkan anak-anak yang disasar berlatar belakang faktor pencarian jati diri dan maskulinitas yang didapatkan dari pertemanan khususnya di dunia  digital. 

"Koneksi yang bisa mengalahkan itu (sosial media -red) adalah koneksi emosional, tabungan kebahagiaan dia, anak-anak dengan orangtuanya. Sehingga jika ada permasalahan di sosmed, dia bisa punya second opinion ke orangtuanya. Tidak seperti pada Akbar, tiga orang yang berangkat itu mereka mencari figur "bapak", tidak dekat karena bapak-nya aparat, ada yang bapaknya sudah meninggal, dan ada pula yang korban poligami,” kata dia.

Pemerhati anak yang juga Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi menyatakan orangtua mesti berperan lebih aktif supaya anak dan remaja tidak mudah terjebak arus yang bisa merugikan si anak sendiri.

"Komunikasi dalam keluarga harus dibuat sedemikian efektif. Dari kecil dibiasakan ada dialog, mulai besar biasakan rapat keluarga, diskusi, sehingga jika ada hal menyimpang bisa terdeteksi dan diatasi dengan kasih sayang dan suasana yang ramah anak," ujar Kak Seto.

Pun jika anak tidak memiliki kondisi orangtua yang ideal, lanjut Kak Seto, siapapun bisa memberi perlindungan pada anak.

"Ada kata bijak, ‘melindungi dan mendidik anak perlu orang se-kampung’. RT/RW perlu diberdayakan juga. Dalam hal ini, budaya bangsa Indonesia yang terkenal dari jaman dulu kegotong-royongan, keakraban dalam keluarga, itu yang harusnya dibuat sedemikian rupa efektif kembali."

Lebih lanjut, Kak Seto juga melanjutkan tidak mungkin bisa membendung arus dunia digital, namun keluarga dan orang terdekat menjadi benteng pertahanan utama si anak.

"Sosial media hanya sebagai alat sajakan, sama seperti gunting tergantung penggunanya. Kalau disalahgunakan ya akan merugikan, tapi kalau digunakan dengan benar justru akan mempererat komunikasi dengan keluarga," ujarnya.

Akbar merasa beruntung sudah menggagalkan niatnya untuk pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Ia baru saja selesai menulis buku fiksi pertamanya yang diilhami dari kondisi anak muda di negeri orang. Buku itu berjudul "Boys Beyond the Light" dan akan dilluncurkan akhir bulan ini.

"Meski tidak berangkat perang, saya masih bisa ber-jihad dengan pena untuk mengharumkan nama agama, bangsa, dan negara. Itu lebih mulia, kita bisa bantu orangtua dan orang sekitar. Syar'i tapi gaul yang Qurani", tutupnya. 

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Film "Jihad Selfie" langsung klik jihadselfie.com

Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • Jihad Selfie
  • Radikalisme
  • noor huda ismail
  • film
  • Wahid Institute

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!