BERITA

Realitas Kampung Pulo: 'Dianggap Ilegal dan Liar, Itu Menyakitkan Sekali' (2)

Realitas Kampung Pulo: 'Dianggap Ilegal dan Liar, Itu Menyakitkan Sekali' (2)

Pengantar: Pada Kamis (20/8) hingga Sabtu (22/8), pemerintah DKI menggusur paksa rumah warga di kawasan Kampung Pulo di aliran Sungai Ciliwung. Kawasan itu dihuni sekitar 3,800 keluarga.

Kawasan ini digusur karena berada di bantaran sungai, dan kerap dilanda banjir. Warga menolak digusur karena tidak ada ganti rugi dari pemerintah, walaupun mereka mengklaim memiliki surat-surat tanah seperti girik, Letter C, atau Verbonding Indonesia. Sementara pemerintah DKI Jakarta yang sebelumnya berencana memberi ganti rugi, berubah haluan. Pemerintah DKI menyatakan tidak ada ganti rugi karena warga tinggal di lahan milik negara.


Ketua Komunitas Sanggar Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi mengatakan banyak orang yang tidak tahu sejarah keberadaan Kampung Pulo. Padahal, keberadaannya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan.

Senin (24/8) lalu, Pak Sandy---panggilan Sandyawan Sumardi---datang ke KBR. Ia menjelaskan banyak hal soal Kampung Pulo, bergantian dengan Soebandi (warga RW 03) dan Vera Soemarwi (kuasa hukum warga Kampung Pulo). Berikut ringkasannya.

***


Sengketa lahan, dianggap liar

Sebelumnya, kuasa hukum Sanggar Ciliwung Merdeka (Verra Soemarwi dan warga) mendapatkan dua Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar normalisasi Sungai Ciliwung termasuk ke Kampung Pulo. Dua perda itu tidak pernah disosialisasikan kepada warga yang bakal menjadi sasaran normalisasi.


Dua Perda itu adalah Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030 serta Perda Nomor 1/2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).

Menurut Sandyawan Sumardi, dua Perda itu memuat rencana pembuatan sodetan Kali Ciliwung untuk pembangunan danau serta perubahan peruntukan tanah di Kampung Pulo dan Bidara Cina.

"Jika itu terjadi, warga yang ada di seluruh Kampung Pulo akan kena, jumlahnya sekitar 8,000 keluarga.

Yang mengejutkan dua Perda ini tidak pernah disosialisasikan kepada warga Kampung Pulo. Yang lebih mengherankan lagi Perda 1 tahun 2014 yang menyangkut keseluruhan Kampung Pulo ini---bahkan orang Pemprov DKI tidak tahu. Bahkan Pak Camat dari Kampung Melayu itu di depan Gubernur itu mengatakan, "ah, Perda itu bisa-bisanya Ciliwung Merdeka, saja."


Soal dua Perda ini sudah dibicarakan berulang-ulang oleh warga serta tim hukum Ciliwung Merdeka. Karena ada sikap yang berubah-ubah dari pemerintah DKI. Terutama soal ganti rugi.


Pada zaman pemerintahan Jokowi dan Ahok dulu dinyatakan bahwa ada ganti rugi berdasarkan Pergub 163/2010 tentang sistem ganti rugi itu, bahkan pohon dan kandang ayam pun akan diberi ganti rugi.


Tapi sikap pemerintah DKI lalu berubah. Ketika wakil–wakil warga diundang serta dipanggil ke kecamatan, ternyata pemerintah mengatakan sudah ada Pergub 190/2014 yang baru, tentang ganti rugi uang kerohiman untuk tanah-tanah garapan. Padahal Pergub lama belum dicabut. Sementara waktu itu warga sudah menghitung-hitung ganti rugi---bahkan ada yang membuat kandang ayam baru supaya dihitung ganti rugi.


Pada 5 Juni pemerintah DKI menyatakan tidak ada ganti rugi sama sekali. Tidak ada lagi Pergub-pergub itu.


"Kami baru tahu alasannya, ketika Ciliwung Merdeka menemui Gubernur DKI pada 24 Juli. Gubernur mengatakan, mengapa tidak pakai Pergub, karena dia takut digugat Menteri Keuangan untuk memberikan uang ganti rugi kepada warga yang tidak punya sertifikat dan tidak punya IMB. Itulah yang membuat warga tidak dapat ganti rugi apapun, sedangkan Pergub-pergub itu tidak pernah dicabut. Padahal, suatu produk hukum tidak bisa dinyatakan tidak berlaku hanya dengan pernyataan lisan saja," kata Sandyawan.


Warga bingung melihat perubahan-perubahan ini. Mereka tahu, karena Pergubnya belum dicabut, maka mereka bertanya. Warga ingin ada kesepakatan bersama.


"Kami dan warga sebetulnya sudah berkumpul lama, bersama para ahli. Kita sering kumpul di rumah Habib Soleh, membuat usulan-usulan untuk membangun Kampung Pulo. Intinya, daripada kita melakukan normalisasi y ang memakan biaya mahal sekali, termasuk menyewa Satpol PP, menyewa polisi, menyewa tentara, belum kalau jatuh korban. Membuat sodetan sungai juga mahal."


Dalam pertemuan dengan Sanggar Ciliwung Merdeka, Gubernur Ahok sebetulnya juga tidak setuju dengan adanya sodetan, tapi Ahok tetap tanda tangan Perda, karena kalah berembuk ketika diskusi.


Lantas, mau dibawa kemana orang-orang warga Kampung Pulo jika digusur? Sementara jauh sebelumnya Sanggar Ciliwung Merdeka bersama warga sudah mengumpulkan bukti bukti surat tanah yang termasuk di dalamnya ada sertifikat juga. Rencananya nanti akan diberikan kepada Gubernur pada pertemuan 24 Juli.


Pada waktu itu Gubernur dengan kaget mengatakan, "Wah kalau begitu lebih baik begini saja. Tanah ini di Kampung Pulo yang besar jumlahnya itu 8,5 hektar itu akan dibeli oleh Pemprov DKI dengan harga 1,5 kali lipat. Jadi kalau warga punya 100 meter akan diganti menjadi 150 meter. Nanti disitu akan dibangun kampung susun. Nanti warga akan diberi sertifikat, meskipun tanah itu milik DKI, tapi warga akan diberikan sertifikat. Bangunan itu hanya boleh dijual lagi ke Pemprov DKI dan bisa juga disewakan kepada orang lain." Itulah kira kira.


Bagaimana warga yang tidak punya sertifikat? "Katanya, yang tidak punya surat tanah tetap boleh tinggal disitu juga. Tetapi bayar iuran pelayanan tempat tinggal. Yang pakai lift iuran dikenakan Rp5 ribu, sedangkan yang pakai lift Rp15 ribu. Itu semacam untuk biaya operasional. Sangat luar biasa. Kami lalu menunjukan desain pembangunan kampung susun berbasiskan komunitas, sebagai situs kebudayaan keanekaragaman warga Jakarta," kata Sandyawan.

Sejarah Kampung Pulo?

Menurut sejarah, kawasan Kampung Pulo sudah dihuni warga jauh sebelum tahun 1930. Mereka sudah ada sebelum kemerdekaan. Ada warga Betawi, Banten, Cina, Arab, bahkan juga ada yang keturunan Belanda. Juga orang Jawa dan orang Minang.  Mereka punya surat surat Verponding Indonesia, bentuk girik, bentuk pajak bumi, juga Letter C. Juga ada jual beli di bawah tangan yang mestinya menurut Undang Undang pokok Agraria itu harusnya dijadikan sertifikat.

Tetapi ada problem kesulitan proses sertifikasi. Salah satu warga, Ustad Kholili pernah menunjukkan bukti satu surat tanah, dimana untuk diproses menjadi sertifikat itu butuh waktu delapan tahun dan butuh biaya Rp30 juga. 


Berdasarkan itu, pada 24 Juli itu, Ahok melihat desain dan saat itu setuju karena itu tanah warga dan tanah adat. Dia juga akan mendesain dan membangun tanah warga itu dengan melibatkan swasta dan sebagainya .


Sanggar Ciliwung Merdeka diminta membuat kesepakatan nota kerja sama antara warga dengan Pemprov DKI. Sanggar Ciliwung Merdeka sebagai mediator.


"Namun sulit sekali ketemu Gubernur Ahok. Padahal kami mengajukan permohonan bertemu itu sudah sangat lama. Lebih dari satu bulan. Sampai kami cegat di depan Kantor Gubernur segala. Lucunya kita malah baru bisa ketemu Gubernur itu lewat orang atas," kata Sandyawan Sumardi.


Akhirnya Sanggar Ciliwung Merdeka bisa bertemu Gubernur pada 24 Juli. Ciliwung Merdeka mengajak mitra yaitu para ahli serta didampingi kuasa hukum. Selain itu, perwakilan warga juga dihadirkan, seperti Ustad Soleh, Ustad Malik, Habib Soleh, pengurus RT dan para sesepuh. Ternyata, di luar kesepakatan sebelumnya, Gubernur juga menghadirkan camat dan lurah dari Bukit Duri. Dalam pertemuan itu, ternyata Gubernur tidak mengakui tanah di Kampung Pulo sebagai tanah adat warga, melainkan itu tanah negara. Karena Gubernur mendengarkan argumentasi dari camat dan lurah.


Pada saat itu pihak kuasa hukum warga ingin menjelaskan posisi tanah warga itu, tapi Gubernur sudah tidak mau mendengarkan.


"Sebetulnya perkaranya itu begini. Tidak perlu seseorang yang tanahnya masih dipertanyakan kemudian dituduh kriminal mendudukin tanah negara sekian tahun, seolah melakukan kesalahan yang parah. Tuduhan yang paling menyakitkan para warga itu ialah tuduhan ilegal dan liar. Dalam forum itu saya mendengar berulang ulang kata kata ilegal. Itu paling berat diterima oleh warga dan oleh Ustad Kholili sebagi Ketua Musyawarah Kelurahan (LMK) dan warga," kata Sandyawan Sumardi.


Salah seorang warga, yaitu Habib Soleh merupakan keturunan dari Habib Said yang makamnya ada di Kampung Pulo. Di Kampung Pulo banyak makam keramat yang sudah dari tahun 1930. Dan Kampung Pulo itu masuk dalam kawasan Messter Cornelis pada masa kolonial Belanda, dan itu sudah menjadi pusat dari Jakarta. 


Komunitas yang mempunyai daya survival ekonomi tinggi. Rumah di Kampung Pulo, betapapun kecil itu dibangun tingkat. Lantai atas untuk tidur dan lantai bawah untuk kerja. Untuk jualan, atau pabrik tahu. Kami telah melakukan pemetaan ekonomi di situ.


"Kita lihat sebaran mata rantai ekonominya. Mereka jual tahu tempe, produknya sampai dijual ke Priok, Pluit. Tukang potong ayam juga ada, dan jualannya sampai kemana-mana. Juga jualan jajanan dan macam-macam usaha ada disana. Dari situ kita bisa melihat masyarakat dengan cara pemahaman yang beda," kata Sandyawan.


"Orang mungkin melihat penggusuran itu dari segi fisik. Yang dihitung hanya bangunan atau tanah. Padahal kalau digusur yang hilang itu akses potensi ekonomi yang sudah lama sekali ada di sana. Termasuk di Bukit Duri. Dulu BPJS Kesehatan belum ada, tapi di sana sudah ada RSCM---Rumah Sehat Ciliwung Merdeka. Itu klinik yang dijalankan sendiri oleh warga. Bayarnya hanya Rp1000 atau Rp2000 sekali berobat. Ada dokternya juga. Di sana ada klinik gigi yang bagus, klinik umum, dokter jantung juga ada.


Itu semua akan hilang. Belum lagi akses ekonomi, jalur ekonomi."  (Bersambung)

Baca juga:

  • Ciliwung Merdeka
  • Sandyawan Sumardi
  • Kampung Pulo
  • DKI Jakarta
  • Gubernur Ahok
  • Ahok
  • penggusuran

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!