NASIONAL

Petani Telukjambe Karawang: Kami Belum Merdeka

Petani Telukjambe Karawang: Kami Belum Merdeka

KBR, Karawang - Rahman berjalan pelan, kepalanya tertunduk, wajahnya lusuh saat datang ke lantai 2 sebuah ruko di kawasan Karawang. Di kantor itu, Rahman bersama empat teman lainnya mengadu ke kantor perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Karawang Barat.

Mengenakan kaos biru panjang, Rahman berjalan paling depan masuk ke sebuah ruangan. Rahman adalah seorang warga Desa Wanasari yang memprotes 12.500 meter persegi atau 1,2 hektar tanahnya digusur oleh perusahaan properti, PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).

Penggusuran itu dilakukan atas dasar putusan pengadilan Pengadilan Negeri Karawang yang memenangkan SAMP dalam kasus sengketa lahan sejak 2007. Tanah yang dieksekusi pengadilan seluas 350 hektar. Semua tanah itu milik 340-an warga di 3 desa, yaitu Desa Margamulya, Wanakerta dan Wanasari.

Rahman dan temannya sesama petani protes dengan penggusuran itu. Mereka mengaku mempunyai surat kepemilikan tanah adat atau girik yang sudah mereka miliki sejak lama, secara turun temurun. Rahman merupakan keturunan keempat pemilik tanah itu.

"Tanah itu punya saya. Saya ini kan ahli waris, dari bapak, kakek,buyut. Sekarang tiba-tiba digusur tanpa permisi," kata Rahman.

Eksekusi tanah oleh PN Karawang dilakukan pada 24 Juni 2014. Sebanyak tujuh ribu aparat kepolisian membantu pengadilan saat eksekusi. Mereka bersenjata lengkap. Eksekusi itu mendapat perlawanan dari puluhan petani.

Proses eksekusi itu dihadiri Kapolres Karawang Dedi Hartadi, Bupati Karawang Bupati Ade Swara, kuasa hukum petani dan pihak Badan Pertanahan Nasional. Mereka negosiasi untuk menunda eksekusi, namun gagal. Petani menilai eksekusi itu illegal, sebab eksekusi dilakukan dengan cara kekerasa. Beberapa petani dipukul, diinjak dan diintimidasi dengan senjata.

Sembilan petani dan empat buruh yang menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh luka-luka dan 1 petani. Banyak juga warga yang terluka karena tembakan water cannon, gas air mata dan peluru karet. Sekarang ratusan hektar tanah petani sudah beri patok pembatas perusahaan. Tanah pun dijaga ketat oleh Brimob.

"Saya sewot, marah. Lawan Brimob di jalanan. Saya nggak akan kuat lawan Brimob, kita masyarakat kecil. Nggak punya alat. Sekarang yang saya tanyakan, kenapa bisa dieksekusi? Kan ada suratnya, bayar pajak setiap tahun. Saya nggak ngerti masalah hukum,” cerita Rahman dengan bibir gemetar.

Tak ada tanah


Sekarang, Rahman bingung. Tanah yang sudah menghidupi keluarganya selama empat generasi tidak bisa lagi dimanfaatkan. Padahal, selama 18 tahun dia menikah, tanah itu yang menghidupi dua anaknya yang berusia 17 dan 8 tahun.

Tanah itu semula ditanami bambu dan kayu formin atau akasia. Setahun dua kali, tanah itu juga ditanami jagung, singkong, ubi dan padi. Sebagian hasil kebun itu dijual untuk membayar sekolah anak perempuan yang masih kelas 3 SD.

"(Mata) pencarian itu aja. Kalau nggak jual bambu kayu bagaimana? Sekarang gimana, nggak punya kerjaan,” cerita  pria 40-an tahun itu sambil terus mengisap rokoknya

Rahman mengatakan, yang paling bingung adalah istrinya. Sudah dua bulan ini tidak uang untuk membuat dapurnya mengebul. Untuk makan dan biaya harian keluarganya hanya mengandalkan sisa penjualan hasil kebun tahun lalu.
“(Nggak cari kerja lagi?) Sekarang nunggu-nunggu kuli aja. Tanahnya akan diambil orang. Sekarang belum ada (kerjaan), masih pusing. Diem aja di rumah terus," lanjut Rahman.

Ratusan batang akasia berusia 6 tahun hasil penjualan tahun lalu laku Rp 13 juta. Uang itu harus cukup untuk menyambung hidup enam tahun berikutnya. Kata Rahman, bulan-bulan ke depan dipastikan akan makin terasa berat karena beras dan bahan pokok sehari-hari yang biasanya tidak membeli, sekarang harus dibeli.

"Seada-ada wae (Seadanya saja, red.) pak. Sisa duit kemarin aja,” kata dia.

Hampir semua petani korban penggusuran tanah di Telukjambe bernasib sama seperti Rahman. Udang Rusmana, bapak 3 anak ini juga bingung. Dia menganggur, sementara anak ketiganya yang masih balita masih membutuhkan uang banyak untuk bersekolah.

Rusmana tidak seberuntung Rahman yang mempunyai uang simpanan penjualan hasil kebun. Selama dua bulan terakhir, Rusmana menggantungkan kebutuhan dapurnya dari penghasilan anak perempuan keduanya.

"Dia kerja di PT (perusahaan). Sekarang dari dia aja. Saya yah begini menganggur. Bingung," kata Rusmana yang mengaku mempunyai tanah kurang dari 1 hektar di Desa Wanasari.

Petani lain di Wanasari, Udam mengaku banyak petani yang saat ini luntang-lantung untuk mencari uang. Bahkan banyak petani yang menjadi pemulung dengan memunguti botol bekas di Kawasan Industri KIIC Karawang Barat. Botol bekas itu dijual per kilogram dengan harga Rp 3.000.

"Setelah pasca eksekusi, daripada lapar, nggak ada kerjaan. Ada yang mungutin botol dan gelas Aqua di kawasan industri, ada yang jadi kuli bangunan juga. Yah begitu luntang-lantung," kata Udam.

Udam menjelaskan, ratusan petani masih memperjuangkan tanahnya dengan berbagai cara. Dia meminta bantuan Kepolisian Indonesia untuk menarik ratusan pasukan Brimob yang masih terus berjaga di lahan sengketa. Karena itu juga ratusan petani Telukjambe silih berganti mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM.

"Sekarang kita masih menunggu aja. Bagaimana Komnas HAM ini bekerja. Ini kan pelanggaran HAM katanya. Buktikan, kalau kita ini orang bodoh. Kalau pelanggaran HAM, berarti kita ini kan yang benar," kata Udam.

Petani di Telukjambe masih menuntut supaya tanah yang dirampas itu kembali menjadi milik mereka. Kalau pun PT SAMP ingin memiliki tanah mereka, perusahaan itu harus membeli tanah petani dengan harga yang layak. Sebab dalam putusan pengadilan, petani hanya berhak mendapatkan uang kerohiman sebesar Rp 4.000 untuk harga permeter tanahnya.

"Kita ini belum merasa merdeka. Buktinya, hak kita aja dirampas. Kita mau kalau memang mau dibeli ini lahan, yah beli dengan harga pantas. Jangan cuma dikasih kerohiman aja," jelas petani lain, Rusmana.

Sampai saat ini ratusan Brimob masih berjaga di 3 desa itu. Mereka menjaga lahan yang saat ini dipasangi papan nama PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Brimob itu melarang para petani masuk ke lahan tersebut. Brimob bersenjata lengkap itu bahkan melarang mereka untuk menanami tanaman dan bercocok tanam.

Editor: Citra Prastuti

  • telukjambe
  • petani karawang
  • merdeka

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!