NASIONAL

Kisah Seputar Proklamasi, Dari Mesin Ketik Pinjaman Sampai Nasib Bendera Merah Putih (I)

Kisah Seputar Proklamasi, Dari Mesin Ketik Pinjaman Sampai Nasib Bendera Merah Putih (I)


KBR, Jakarta - Banyak kisah menarik di seputar peristiwa bersejarah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mulai dari rencana proklamasi yang awalnya akan dilakukan sehari lebih cepat. Sampai rumitnya perumusan naskah proklamasi. Kami ajak Anda untuk menyusuri kembali peristiwa yang terjadi 69 tahun lalu. 


Pada 14 Agustus 1945, Sokarrno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat mendarat di Kemayoran, Jakarta. Mereka baru pulang setelah bertemu jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam. Dalam pertemuan itu, Terauchi menyerahkan pada pihak Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan. 


Sejarawan muda sekaligus redaktur majalah Historia, Hendri Isnaeni menyebut, Soekarno-Hatta siap mengumumkan kemerdekaan pada 16 Agustus dan meminta semua anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berkumpul di Jakarta. 


“Tetapi pada 16 Agustus  pukul 3 pagi, keduanya diculik oleh sekelompok pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok. Kalau menurut Hatta, jika saja mereka tidak diculik, kemungkinan besar Proklamasi akan terjadi pada 16 Agustus. Karena semua anggota PPKI sudah hadir di Jakarta dan akan rapat di tanggal 16,” kata Hendri. 


Dia menambahkan, cerita berubah ketika keduanya diculik dan baru kembali ke Jakarta pada malam hari. Tadinya rapat antara Soekarno, Hatta dan pemuda  akan dilaksanakan di Hotel Des Indes, yang sekarang menjadi kompleks ruko di Duta Merlin. Tapi tak diizinkan oleh pihak hotel karena sudah larut malam. Sesuai aturan Jepang, semua kegiatan masyarakat tak boleh  lebih dari jam 10 malam. 


Akhirnya, Laksamana Maeda meminjamkan rumahnya, yang sekarang menjadi museum Perumusan Naskah Proklamasi di jalan Imam Bonjol, Jakarta. Maeda adalah perwira penghubung angkatan laut Jepang di Jakarta. 


Menyusun Naskah Proklamasi


Hendri menuturkan, di rumah itu sudah berkumpul semua anggota PPKI, berjumlah 21 orang. Sebenarnya tidak ada rapat formal. Perumusan naskah proklamasi dilakukan di salah satu ruangan, sementara anggota PPKI menunggu di ruang tengah. 


Jepang tak melarang rapat PPKI karena jenderal Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, sudah menyerahkan kepada Indonesia untuk menyelenggarakan proklamasi. 


Tapi pada 16 Agustus malam, keluar larangan dari Jepang, ini terkait dengan perintah dari Sekutu untuk menjaga status quo di Indonesia, Jadi tak boleh ada rapat. Soekarno-Hatta marah pada pihak Jepang seraya mengatakan, ‘Mana jiwa samurai kalian? Padahal Jenderal Terauchi sudah menyerahkan pada kami untuk menyelenggarakan rapat persiapan kemerdekaan.”


Hendri bercerita, akhirnya rapat kemerdekaan tetap dilaksanakan di rumah Maeda. Dia menaruh simpati dengan perjuangan Indonesia, kemudian disusun naskah proklamasi oleh tiga orang, Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo. 


Soekarno meminta secarik kertas bergaris biru, seperti kertas buku tulis. Dia juga meminjam pulpen dari seorang peserta rapat. Dalam perumusan naskah proklamasi, Soekarno meminta Hatta membuat konsep naskahnya. Tapi kata Hatta, “Lebih baik begini saja, Bung Karno yang menuliskan naskahnya, saya yang mendiktekan bersama Achmad Soebardjo.” 


“Jadi naskah proklamasi itu ada dua penggalan. Kalimat pertama ‘Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia’ didiktekan oleh Achmad Soebardjo. Tapi menurut Hatta, kalimat itu belum cukup, soalnya baru menyatakan kemerdekaan. Perlu ada penegasan untuk segera menyusun pemerintahan,” kata Hendri. 


Kemudian Hatta mendiktekan di kalimat keduanya, ‘hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’. 


Baca cerita selanjutnya: Kisah Seputar Proklamasi, Dari Mesin Ketik Pinjaman Sampai Nasib Bendera Merah Putih (II) 


  • proklamasi kemerdekaan
  • soekarno
  • hatta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!