KBR, Jakarta - Langkah pemerintah memangkas jumlah komoditas yang diberikan pupuk subsidi dari 70 menjadi 9 komoditas utama menuai kekhawatiran sejumlah pihak.
Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menilai, pembatasan pupuk subsidi itu akan berdampak langsung terhadap kuantitas produksi petani yang tidak mampu membeli pupuk non-bersubsidi dengan harga mahal.
"Ketika harga pupuk non-subsidi melonjaknya sangat tinggi, sehingga petani sekarang ini betul-betul apalagi petani kecil yang tidak memiliki kapasitas membeli pupuk non-subsidi terpaksa hanya menggunakan pupuk subsidi untuk memupuk tanamannya. Padahal dari sisi kuantitas itu kan turun kuantitasnya, yang harusnya dia membeli 100 persen (pupuk subsidi-red), 50 persen dia beli untuk pupuk non-subsidi, sekarang hanya betul-betul mengandalkan pupuk bersubsidi,"ujar Andreas saat dihubungi KBR, Selasa (19/7/2022).
Dwi Andreas menambahkan, kuantitas subsidi pupuk sebenarnya hanya memenuhi sekitar 50 persen kebutuhan petani. Imbasnya, kata dia, 50 persen petani lainnya terpaksa harus membeli pupuk non-subsidi yang mahal di pasaran.
"Sudah barang tentu dengan harga pupuk dunia yang sedemikian mahal saat ini, pupuk bernitrogen itu sekarang naiknya dua setengah sampai tiga kali lipat. Sehingga harga pupuk non-subsidi itu melonjaknya sangat tinggi," tuturnya.
Baca juga:
- Serikat Petani Curiga Ada Mafia Bibit, Dasarnya?
- Menteri BUMN Sebut ada Mafia Bibit, Begini Tanggapan Mentan
Sebelumnya, komoditas penerima pupuk bersubsidi dibatasi hanya pada subsektor tanaman pangan. Terdiri dari padi, jagung, dan kedelai. Subsektor hortikultura terdiri dari cabai, bawang merah, dan bawang putih. Kemudian subsektor perkebunan terdiri dari tebu rakyat, kakao, dan kopi.
Penetapan komoditas ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Aturan ini diundangkan mulai 8 Juli 2022.
Editor: Fadli Gaper