BERITA

23 Tahun Tragedi Biak Berdarah, Belum Tuntas

23 Tahun Tragedi Biak Berdarah, Belum Tuntas

KBR, Jayapura- Tragedi Biak berdarah di Papua hingga kini belum juga tuntas. Sudah 23 tahun lamanya. Namun, sampai saat ini negara belum menyelesaikan penyelidikan, penyidikan, dan mengadili pihak-pihak yang diduga menjadi pelaku.

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan secara visual atau kasat mata, terjadi pelanggaran HAM yang diduga dilakukan aparat keamanan saat membubarkan pengunjuk rasa di bawah menara air di Kota Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua, pada 6 Juli 1998.

Dalam pembubaran itu ada korban tewas, korban luka, korban cacat seumur hidup, dan trauma berkepanjangan. Akan tetapi, untuk menentukan apakah kasus itu merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan, kepolisian dan Komnas HAM mesti merampungkan proses penyelidikan dan penyidikan.

"Kasus Biak berdarah itu menjadi utang negara. [Utang] negara melalui instansi teknis ya, kepolisian, Komnas HAM. Kita belum menuntaskan proses penyelidikan sampai penyidikan, memastikan duduknya perkara itu, baik kepolisian maupun Komnas HAM. Utang kepada pemerintah adalah, pemerintah tidak memberi perhatian kepada mereka mereka yang mengalami trauma berkepanjangan, cacat, korban jiwa," kata Frits Ramandey, Selasa (6/7/2021).

Frits Ramandey menyatakan akibat belum tuntasnya penyelidikan dan penyidikan, hingga kini para korban peristiwa Biak Berdarah belum mendapat keadilan.

Kasus Biak Berdarah Mirip Peristiwa Santa Cruz

Salah satu saksi hidup, Filep Karma mengatakan kejadian Biak berdarah mirip peristiwa Santa Cruz di Timor Timur (kini negara Timor Leste), 12 November 1991.

Tokoh Papua merdeka itu mengatakan Biak berdarah merupakan bagian kisah pilu yang menyisakan catatan kelam dalam sejarah rakyat Papua.

Aksi damai rakyat Papua di bawah menara air Kota Biak, Kabupaten Biak Numfor menuntut referendum, disertai pengibaran Bintang Kejora, sejak 2 Juli 1998 hingga 6 Juli 1998, dijawab dengan tindakan refresif aparat keamanan.

TNI-Polri dikerahkan membubarkan massa pada 6 Juli 1998. Perserta aksi ditangkap, ditembaki dan disiksa. Bahkan warga yang diduga tidak terlibat dalam agenda itu juga menjadi korban.

"Mayat korban sebagian besar hilang dan belum diketahui oleh keluarganya. Sehingga sampai sekarang keluarga masih trauma atas peristiwa Biak Berdarah," kata Filep Karma.

Menurut Filep Karma, ketika itu ia sama sekali tidak menyangka aksi damai pihaknya akan berakhir tragis. Sebab, sejak hari pertam aksi aparat keamanan sudah berjaga di lokasi. Akan tetapi tidak ada upaya pembubaran.

Kata dia, jika aksi itu dilarang, mestinya aparat keamanan sudah menangkap dirinya ketika berorasi pada hari pertama, atau sebelum massa berkumpul.

"Saat itu kami berpikir, reformasi memberi ruang kepada orang Papua berbicara secara damai mengenai apa yang mereka perjuangkan. Kebebasan yang tidak didapat pada zaman Orde Baru," ucapnya.

Korban Tewas, Hilang dan Luka-Luka

Informasi akan pembubaran paksa massa aksi didengar pihaknya pada 3 Juni 1998. Ketika itu, pesawat Hercules milik TNI yang mengangkut pasukan dari Makassar dan Ambon mendarat di Biak.

Seorang nelayan menginformasikan kepada pihaknya, melihat dua kapal yang diduga kapal perang berlabuh di Kepulauan Padaido. Karma pun kemudian mengingatkan massa akan ada pembubaran pada 6 Juli 1998.

Warga yang bukan bagian massa aksi, atau berada di lokasi untuk menonton diminta membubarkan diri, agar tidak menjadi korban salah sasaran.

"Saya bilang silakan kembali ke rumah masing-masing, dan doakan kami. Yang siap mati silakan tinggal. Saat itu masih ada sekitar 75-80 orang bertahan,” ucapnya.

Hasil investigasi Elsham Papua mencatat, tragedi kemanusiaan itu menyebabkan delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang luka ringan, 150 orang ditangkap dan disiksa, 32 mayat ditemukan mengapung di perairan Biak.

Editor: Sindu

  • Biak Berdarah
  • 23 Tahun Biak Berdarah
  • Papua
  • TNI
  • Polri
  • Komnas HAM
  • Kejagung
  • HAM
  • Kasus HAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!